REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU - Anggota Komisi III DPR RI bidang Hukum, Bambang Soesatyo mengatakan, DPR terpaksa menggunakan Hak Interpelasi Parlemen, mengingat Menhukham tidak dapat menjelaskan kejanggalan landasan hukum dalam kebijakan "moratorium" remisi yang kemudian diubah menjadi "pengetatan".
"Interpelasi atau pemanggilan terhadap Presiden RI untuk diminta keterangan oleh DPR terpaksa dikedepankan, setelah mendengar penjelasan Menteri Hukum dan HAM (Menhukham)," katanya melalui jejaring komunikasi kepada ANTARA Pekanbaru, Jumat (9/12).
Ia menambahkan, Menhukham pada rapat bersama Komisi III DPR RI dua hari lalu mengaku, Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan tertanggal 13 Oktober 2011 tentang 'pengetatan' pemberian remisi untuk terpidana korupsi dan terorisme, dibuat tanpa keputusan Menhukham.
Artinya, lanjutnya, dibikin tanpa Keputusan Menteri sebagai dasara hukum. "Tapi hanya berdasarkan perintah lisan Wakil Menhukham (Wamenhukham) melalui telepon," ungkapnya. Kepmen terkait kebijakan itu sendiri, menurut Bambang (berdasarkan penjelasan Menhukham), baru ditandatangani 16 November 2011.
"Lebih dari itu, sesuai ketentuan peraturan dan undang-undang yang berlaku, tidak tertutup kemungkinan penggunaan Hak Interpelasi ini dapat meningkat menjadi Hak Menyatakan Pendapat (HMP),"tandasnya. Bambang Soesatyo menegaskan, HMP itu bakal terjadi, manakala jawaban Presiden tidak memuaskan, terkait kebijakan 'moratorium' remisi yang diambil oleh Kemenhukham.
Sebagaimana diberitakan berbagai media, dalam rapat Komisi III DPR RI dengan Menhukham bersama jajarannya tersebut, sempat terjadi debat panas yang berujung pada 'pengusiran' Wamenhukham, Denny Indrayana dari ruangan.
'Pengusiran' itu, karena Denny dinilai mengganggu jalannya rapat, antara lain selalu membisikkan sesuatu di depan forum resmi itu kepada Menhukham