REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengetatan remisi untuk narapidana korupsi dan terorisme memang didukung oleh sejumlah pihak. Namun, untuk menerapkan hal tersebut harus dilakukan dengan prosedur yang benar.
“Perlu dibuat aturan terlebih dahulu mengenai hal ini, misalkan dengan segera membuat UU yang diikuti PP dan Peraturan Menkumham,” kata Anggota Komisi III DPR, Aboebakar Alhabsyi, Senin (12/12).
Bila yang dilakukan demikian, lanjutnya, para pejabat akan selalu mengambil diskresi yang berpeluang menjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Seharusnya, diskresi hanya dapat dibuat bila dalam kondisi terpaksa karena tidak ada aturan hukumnya.
“Saya mendorong pemerintah agar segera mengusulkan RUU Pemasyarakatan untuk mengubah UU 12/1995, agar pengetatan remisi untuk para narapidana korupsi dan teroris akan bisa berjalan dengan legal,” katanya.
Ia menjelaskan, persoalan kisruh antara Komisi III dan Menkumham tak lain karena kebijakan yang berawal dari perintah lisan Wamenkumham, Denny Indrayana, pada 29 Oktober lalu. Kala itu, Denny memerintahkan pembatalan remisi. Artinya, jika hal tersebut dibatalkan, maka SK Menkumham Patrialis Akbr tertanggal 23 Oktober juga harus dibatalkan. Nyatanya, dalam rapat kerja dengan DPR, Kemenkumham tidak bisa menjelaskan mengenai kebijakan itu.
Celakanya, Kemenkumham belum bisa menjelaskan dasar keputusan itu sampai beberapa kali rapat kerja digelar di DPR. “Bagaimana mungkin lembaga negara sekelas kementerian membatalkan SK Menteri hanya dengan perintah lisan (yang dilakukan oleh Wakil Menkumham),” tanyanya heran. Menurutnya, tindakan itu tidak dapat dibenarkan.
Maka, kalaupun DPR terpaksa menggunakan hak interpelasi, sebenarnya didasari pada tidak bisanya Menkumham dan jajarannya menjelaskan kejanggalan landasan hukum dalam kebijakan moratorium remisi yang kemudian dirubah menjadi pengetatan remisi. “Interpelasi atau pemanggilan terhadap presiden untuk diminta keterangan oleh DPR terpaksa dikedepankan setelah mendengar penjelasan Menkumham,” kata Aboe.