REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrat kian terbuka mengambil sikap berlawanan dengan PKS, PAN, PKB, dan PPP--yang tergabung dalam poros tengah--terkait angka ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT). Poros tengah yang menginginkan angka PT 2,5-3 persen dinilai Demokrat tidak akan membawa perubahan kualitas anggota dewan.
Ketua Fraksi Demokrat, Ja'far Hafsah, menilai peningkatan PT perlu untuk membatasi Parpol di parlemen. Tujuannya agar ada penyederhanaan atau efisiensi parpol, membuat anggota dewan kian bermutu sehingga pengambilan keputusan dapat berjalan cepat. Produk legislasi juga semakin baik.
"Kita dorong pembatasan parpol di Parlemen melalui Revisi UU Pemilu ini," jelas Ketua Fraksi Demokrat, Ja'far Hafsah, saat dihubungi, Selasa (20/12). Dia mengatakan pembatasan Parpol akan dilakukan melalui peningkatan Parliamentary Threshold (PT) dari 2,5 persen pada Pemilu 2009 menjadi empat persen.
Angka empat persen dinilainya moderat, karena di negara-negara lain, angka PT cukup tinggi. Ja'far menyebutkan, angka PT di Turki mencapai 10 persen, Rusia 7 persen, Jerman 5 persen, Belgia 4,8 persen, Hongaria 5 persen, Italia dan Swedia 4 persen, dan Spanyol 3 persen. "Kita hanya berharap seperti Italia dan Swedia," imbuhnya.
Meningkatnya angka PT memberi konsekuensi sejumlah Parpol bakal tak mampu memiliki perwakilan di DPR nantinya. Namun, Ja'far menilai itu bukan masalah karena yang terpenting adalah keterwakilan rakyat di parlemen.
Keterwakilan rakyat disini tidak bisa dipahami hanya berdasar orang yang memilih caleg tertentu saja. Setelah caleg tersebut terpilih, maka ia hanya membantu orang-orang yang memilihnya. "Tidak bisa seperti itu," jelasnya.
Dia mencontohkan dirinya saat bersaing dengan Tamsil Linrung dari PKS pada pemilu legislatif 2009, lalu dipilih Masyarakat Sulawesi dan menang, tak lantas membeda-bedakan antara masyarakat pemilih Tamsil dan kubunya. Semua dinilai sama dan perlu ditampung aspirasinya.
Ia juga mengacu pada pada Pilpres 2009 lalu. Ketika SBY terpilih maka semua rakyat baik yang memilih SBY atau tidak, tetap mengakui SBY adalah presidennya. "Maka tak adalagi yang membedakan," jelasnya.