Jumat 06 Jan 2012 16:50 WIB

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Kematian Ibrahim, Putra Terkasih

Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Dengan usainya Perang Tabuk, maka selesailah amanat Allah diajarkan ke seluruh Jazirah Arab. Dan Rasulullah sudah merasa aman dari setiap permusuhan yang akan ditujukan kepada agama Islam.

Utusan-utusan dari pelbagai daerah datang menghadap beliau dengan menyatakan kesetiaan serta mengumumkan keislaman mereka. Perang Tabuk bagi Rasulullah merupakan ekspedisi terakhir. Sesudah itu, beliau menetap di Madinah.

Ibrahim, putra beliau, saat itu berusia antara 16-18 bulan. Apabila beliau selesai menerima para utusan, mengurus masalah-masalah kaum Muslimin, menunaikan kewajiban kepada Allah serta hak kewajiban seluruh keluarganya, beliau selalu melihat Ibrahim dan mengawasi pertumbuhannya. Cinta kasih Rasulullah kepada Ibrahim semakin dalam. Dan sepanjang bulan itu, yang menjadi pengasuh Ibrahim adalah Ummu Saif, yang menyusuinya.

 

Cinta kasih Rasulullah kepada Ibrahim bukan karena suatu maksud pribadi yang ada hubungannya dengan risalah yang beliau bawa, atau nanti Ibrahim disiapkan menjadi penggantinya. Rasulullah tidak memikirkan anak atau siapa yang akan mewarisinya. Bahkan beliau bersabda, "Kami para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan untuk sedekah."

 

Dan cinta kasih kepada Ibrahim ini kian mendalam, karena sebelumnya beliau telah kehilangan kedua puteranya—Qasim dan Tahir—saat keduanya masih bayi dalam pangkuan Khadijah Al-Kubra. Setelah Khadijah wafat, Rasulullah kehilangan putri satu demi satu, setelah mereka bersuami dan menjadi ibu. Sekarang tak ada lagi yang masih hidup selain Fatimah.

Namun, masa hidup Ibrahim tak berlangsung lama. Setelah saki keras yang dideritanya, Ibrahim meninggal dunia. Rasulullah SAW begitu sedih dengan kematian putranya itu. Beliau kemudian meletakkan Ibrahim di pangkuannya dengan hati yang remuk-redam sembari bersabda, "Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Allah."

 

Melihat kesedihan Rasulullah SAW, kaum Muslimin turut berduka-cita. Beberapa orang sahabat menyinggung larangan berbuat demikian. Namun Nabi SAW bersabda, "Aku tidak melarang orang berduka cita, tapi yang kularang menangis dengan suara keras. Apa yang kamu lihat dalam diriku  sekarang adalah pengaruh cinta kasih di dalam hati. Orang yang tiada menunjukkan kasih sayang, maka orang lain pun tidak akan menunjukkan kasih sayang kepadanya."

Kemudian, setelah dimandikan oleh Ummu Burdah, sumber lain menyebutkan oleh Fadl bin Abbas, Ibrahim dibawa oleh Nabi SAW dengan diantarkan sejumlah kaum Muslimin menuju ke Baqi'. Di tempat itu ia dimakamkan setelah dishalatkan oleh Nabi.

Bersamaan dengan kematian Ibrahim, kebetulan terjadi pula gerhana matahari. Kaum Muslimin menganggap peristiwa itu suatu mukjizat. Mereka menganggap gerhana matahari terjadi karena kematian Ibrahim. Hal ini terdengar oleh Nabi.

Kemudian beliau menemui kaum Muslimin dan menegaskan terjadinya gerhana matahari bukan karena kematian Ibrahim. "Matahari dan bulan adalah tanda kebesaran Allah, yang tidak ada hubungannya dengan kematian atau hidup seseorang. Kalau kalian melihat hal itu, maka berlindunglah kepada Allah dengan dzikir dan doa," sabda beliau.

 

Sungguh suatu kebesaran jiwa yang tiada taranya. Rasulullah SAW tidak melupakan risalahnya dalam suatu situasi yang demikian gawat. Kondisi jiwa yang dilanda keharuan dan kesedihan nan amat dalam.

sumber : Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husain Haekal
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement