REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mendesak Komisi III DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak (RUU PA). Desakan itu tak lepas dari banyak kasus pidana yang menimpa anak di bawah umur.
"Dengan adanya kasus AAL (15), pelajar SMK 3 Palu, Sulawesi Tengah yang dituduh mencuri sendal jepit anggota Brimob Sulteng, Briptu Rusdi Harahap tersebut, maka tidak ada alasan bagi Komisi III DPR untuk tidak segera mengesahkan RUU Sistem Peradilan Anak," kata Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, di Jakarta, Rabu (11/1).
Selama ini, lanjut dia, penegak hukum seperti hakim, polisi dan jaksa "bersembunyi" untuk tidak membawa kasus yang menimpa anak di sidang di luar persidangan lantaran tidak ada payung hukumnya.
"RUU tersebut akan mengatur bagaimana cara mengadili anak di bawah umur. Dengan adanya RUU tersebut, jadi setiap hakim atau penegak hukum itu tidak bisa lagi selalu beralasan dan bersembunyi untuk tidak melaksanakan restorasi keadilan," katanya.
Selain itu, lanjut dia, akan didefinisikan secara mendalam indikator kenakalan anak dan kejahatan. Kalau kejahatan atau "Otentik Crime" dilakukan secara berulang-ulang, bila dilepas akan mengancam dirinya dan ketertiban umum, sehingga harus dititipkan di suatu tempat (ditahan).
"Bila seorang anak melakukan kejahatan, maka hukumannya pidana. Namun, kenakalan hakim bisa memvonis dengan tindakan, yakni mengembalikan kepada orangtuanya. Hukuman pidana yang diberikan kepada anak merupakan jalan terakhir," katanya.
Dengan konsep keadilan restorasi itu, setiap bentuk pemidanaan terhadap anak-anak akan lebih mengedepankan pemulihan kerugian yang dialami korban dan pelaku, dibanding menjatuhkan penjara bagi pelaku. Menurut Arist, aparat penegak hukum dalam mengusut kasus anak, harus bisa membedakan antara kenakalan dan kejahatan murni.
"Apalagi polisi itu punya kewenangan diskresi yang seharusnya bisa dilakukan bagi anak-anak dan orang jompo yang berusia 70 tahun ke atas. Itu bisa didiskresi dengan merestorasi kasus itu tanpa dimajukan ke meja hijau.
Sekarang ini kan hakim atau aparat penegak hukum terkesan seperti menggunakan kacamata kuda, kalau ada unsur pencurian terpenuhi, ya itu yang mereka lakukan," jelasnya.
Ia menyayangkan, meskipun bebas dari hukuman penjara, namun putusan pengadilan tetap menyatakan AAL bersalah dan dianggap sebagai pencuri. "Padahal dari hasil persidangan banyak ditemukan keganjilan. Kalau terbukti bersalah sih tidak apa-apa, tapi ini kan belum tentu ia benar-benar bersalah," katanya.