REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT - Kerusuhan di Suriah kembali memakan korban jurnalis. Seorang kameramen TV Prancis menjadi wartawan Barat pertama, terbunuh dalam pergolakan yang telah terjadi selama sepuluh bulan di negara itu.
Sang wartawan Gilles Jacquier, sempat sekarat dalam serangan granad selama perjalanan yang disponsori pemerintah ke kota Homs, demikian saksi mata dan jurubicara pemeritah mengungkapkan.
Kekerasan terjadi beberapa jam setelah Presiden Bashar Assad membuat kejutan dengan tampil dalam kampanye di ibu kota, Damaskus. Ia bergabung bersama ribuan pendukungnya dan menunjukkan kepercayaan diri meski konflik kian memasuki tahap berbahaya dan penuh kekerasan.
Pembunuhan terhadap Jacquier yang bekerja untuk France-2 Television, bakal menjadi santapan kampanye kedua belah pihak. Rezim dan oposisi saling menyalahkan antara serangkaian serangan misterius.
Pemerintah menyalahkan pengunjuk rasa yang dituding 'teroris' atas serangan pada Rabu yang menewaskan wartawan tersebut. Mereka juga mengatakan serangan telah menewaskan delapan warga Suriah.
Sekitar 15 jurnalis saat itu tengah dalam perjalanan bersama pemerintah ketika mereka dihantam oleh bebrapa granat. "Dalam beberapa saat ada tiga hingga empat granat melayang dan meledak, sangat dekat dengan kami,: ujar satu wartawan yang ikut dalam tur, Jens Franssen, seperti dikutip jaringan Belgian VRT.
Sebuah klip di YouTube menunjukkan pascaserangan granat, terlihat orang-orang panik mengangkat korban ke dalam mobil-mobil dan tampak pula genangan darah. Namun, otentikasi pembesut klip tersebut belum bisa diverifikasi secara independent.
Seorang jurnalis paruh waktu Belanda juga ditemukan terluka di Homs, Rabu, meski tak jelas apakah ia termasuk bagian dari tur tersebut.
Jacquier, 43 tahun, adalah jurnalis asing pertama yang terbunuh dalam konflik berdarah Suriah, ujar Reporters Without Borders. Menurut jaringan televisi tempat ia bekerja, wartawan perang itu telah bertugas bertahun-tahun dari Afghanistan, Gaza, Kongo, Irak, Yaman, yang terkini ia tengah menginvestigasi untuk program tayangan 'Special Envoy' (Utusan Khusus).
Selama pergolakan, beberapa wartawan Suriah telah dibunuh dan disiksa saat mereka mencoba meliput gerakan rakyat, membuktikan para kuli tinta menjadi tantangan paling serius dari dinasti keluarga Assad yang telah bercokol 40 tahun.
Perkiraan PBB, lebih dari 5.000 rakyat Suriah dan warga asing terbunuh sejak Maret. Suriah menjadi negara paling berdarah dalam pergolakan di Arab.