REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya
Hukum Islam menganggap akhlak yang utama sebagai sendi masyarakat.
Dalam kitab al-Ahkam as-Sultaniyyah, Al-Mawardi, mengungkapkan, dalam hukum Islam, tindak pidana (delik, jarimah) diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarak atau agama yang diancam oleh Allah dengan hukuman hudud (hukum atau ketetapan Allah SWT) atau takzir (putusan hukum yang ditetapkan oleh hakim).
Larangan-larangan syarak tersebut, menurut Al-Mawardi, bisa berupa mengerjakan perbuatan yang memang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Abdul Qadir Audah dalam At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaran bil bil Qanunil Wad’iy, menegaskan, pengertian tindak pidana menurut hukum Islam sangat sejalan dengan pengertian tindak pidana (delik) menurut hukum konvensional kontemporer.
Pengertian tindak pidana dalam hukum konvensional adalah segala bentuk perbuatan yang dilarang oleh hukum, baik dengan cara melakukan perbuatan yang dilarang maupun meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.
Ali Bek Badawi dalam al-Ahkam al-'Ammah fil Qanun al-Jina'i, menyebutkan, dalam hukum konvensional suatu perbuatan atau tidak berbuat dikatakan sebagai tindakan pidana, apabila diancamkan hukuman terhadapnya oleh hukum pidana konvensional.
Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan, Jinayah (al-jinayah) berasal dari kata jana-yajni yang berarti akhaza (mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan, pidana atau kriminal. Jinayah didefinisikan sebagai perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda.
Dalam Islam dikenal dengan istilah al-Ahkam al-Jina’iyah atau hukum pidana. Al-ahkam al-jina’iyah bertujuan untuk melindungi kepentingan dan keselamatan umat manusia dari anacaman tindak kejahatan dan pelanggaran, sehingga tercipta situasi kehidupan yang aman dan tertib.
Dasar larangan dan hukuman
Menurut Audah, perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana adalah suatu perintah dan larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan dampak yang buruk, baik bagi sistem ataupun aturan masyarakat, akidah, kehidupan individu, keamanan harta, kehormatan diri (nama baik), perasaan-perasaannya, maupun berbagai pertimbangan lain yang harus dipelihara.
Pensyariatan hukuman terhadap setiap tindak pidana dalam hukum Islam bertujuan untuk mencegah manusia melakukan tindakan tersebut. Seandainya tidak ada hukuman, perintah dan larangan tersebut tidak memiliki arti apa pun dan tidak memberikan pengaruh.
‘’Karena itu, kenyataan bahwa hukuman dapat melahirkan rasa aman dan pengendalian (atas manusia) merupakan suatu perkara yang telah dipahami dan hasilnya sesuai yang diharapkan,’’ papar Audah.
Menurut dia, hukuman juga dapat mencegah manusia untuk berbuat tindak pidana, menolak kerusakan di muka bumi, dan mendorong manusia untuk menjauhi perkara yang membahayakan. Dalam hal ini, walaupun hukuman ditetapkan untuk mewujudukan kemaslahatan umum, hakikat pidana itu sendiri bukanlah suatu kebaikan, melainkan suatu perusakan bagi pelaku itu sendiri (seperti hukuman mati, potong tangan, dan lainnya).
‘’Meskipun begitu, hukum Islam tetap mewajibkan adanya hukuman. Sebab hukuman dapat membawa kemaslahatan yang hakiki bagi masyarakat, sekaligus memelihara kemaslahatan tersebut,’’ tuturnya.
Penetapan suatu hukuman cenderung mengarah kepada hal-hal yang tidak disukai manusia, yakni selama hukuman itu memberikan kemaslahatan masyarakat dan mencegah hal-hal yang disukai mereka, selama hal itu dapat merusak mereka. Hal itu ditegaskan dalam hadits Rasulullah SAW, "(Jalan menuju) surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka dikelilingi dengan hal-hal yang disukai."
Allah SWT yang mensyariatkan hukum, kata Audah, sama sekali tidak terkena dampak dari kemaksiatan yang dilakukan oleh seluruh manusia. Allah juga tidak mendapatkan manfaat dari ketaatan manusia kendati hal itu dilakukan oleh seluruh manusia.
Allah justru menetapkan diri-Nya untuk senantiasa memberikan rahmat kepada seluruh hamba-Nya. Sebagaimana Dia telah mengutus para rasul sebagai rahmat untuk semesta alam, untuk menyelamatkan manusia dari kejahiliahan, mencerahkan mereka dari kesesatan, mencegah mereka dari kemaksiatan, dan mendorong mereka agar senantiasa taat kepada-Nya.
Tujuan penetapan
Hukum Islam sejalan dengan hukum konvensional bahwa tujuan penetapan tindak pidana dan hukuman adalah untuk melindungi kepentingan dan kemaslahatan masyarakat, menjaga sistem masyarakat, dan menjamin keberlangsungan hidup mereka. Kendati memiliki tujuan yang sama, namun dalam hal mencapai tujuan tersebut kedua sistem hukum memiliki cara yang berbeda.
Hukum Islam menganggap akhlak yang utama sebagai sendi masyarakat. Karena itu, hukum Islam sangat memerhatikan pemeliharaan akhlak sehingga setiap perbuatan yang menyentuh dan bertentangan dengan akhlak utama tersebut akan dijatuhi hukuman.
Akan tetapi, tidak demikian dengan hukum konvensional yang cenderung mengabaikan persoalan akhlak. Hukum konvensional baru memerhatikan persoalan akhlak ini apabila suatu perbuatan telah membawa kerugian langsung bagi individu (perseorangan), keamanan, atau sistem umum masyarakat.
Contohnya, perbuatan zina. Hukum konvensional nyaris tidak menghukum perbuatan zina kecuali bila terjadi pemaksaan salah satu pihak (perkosaan). Bahaya perbuatan tersebut menurut hukum konvensional menyentuh secara langsung kebaikan individu dan keamanan umum sekaligus.
Sementara aturan hukum Islam selalu menghukum perbuatan zina, dalam keadaan dan bentuk apapun. Karena, menurut hukum Islam, perbuatan tersebut masuk ke dalam kategori tindak pidana yang menyentuh sisi akhlak. Apabila akhlak telah rusak, maka otomatis masyarakatnya juga akan rusak dan hancur.
Sumber hukum Islam adalah Allah SWT. Karena itu, siapa saja yang merujuk kembali kepada hukum Islam, ia akan mendapati bahwa sebagian perbuatan dianggap sebagai tindakan pidana dan telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nas Alquran, sebagian yang lain berdasarkan perbuatan dan perkataan (hadits) Rasulullah SAW, dan ada juga sebagian yang lain ditetapkan oleh penguasa.
Walaupun demikian, hukum Islam tidak membiarkan penguasa tersebut berbuat sekehendaknya, tetapi harus berlandaskan kepada kaidah (prinsip) dan jiwa hukum Islam yang umum. Karena itu, hakim tidak boleh melarang apa yang dihalalkan oleh Allah SWT atau sebaliknya, tidak boleh membolehkan apa yang dilarang oleh-Nya.