Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar
Hermeneutika itu ada sejak agama lahir, bahkan sejak manusia muncul sebagai makhluk berkebudayaan. Setiap agama lahir dengan teksnya masing-masing, Islam dengan risalah Muhammad berupa Alquran dan sunah.
Teks Alquran dan sunah itu ditafsirkan oleh Nabi dan sahabat dari bahasa Tuhan, sekalipun tidak dengan metode yang sangat rigid. Karena masa Nabi dan sahabat, kata Muhammad Ata As-Sid, adalah masa penerimaan teologis terhadap teks Alquran.
Iman adalah segala-galanya, dan pemahaman terhadap Alquran adalah hal yang gampang. Jika ada kerancuan pemahaman, para sahabat bertanya ke Nabi, sementara Nabi bisa bertanya ke Tuhan. Lagi pula sahabat sangat memahami situasi Makkah dan Arab masa itu, plus persahabatan dengan Nabi (shuhbah) dan kemahiran mereka dalam bahasa Arab.
Hermeneutika sebagai metode dalam Islam muncul ketika wilayah politik Islam meluas dan dibutuhkan penafsiran terutama hukum terhadap teks-teks agama. Di sinilah mereka mulai berpikir metode. Awalnya, sekedar metode sastra, kemudian meluas menjadi metode hukum melalui perumusan jenis-jenis ungkapan dalam Alquran dan pembagian-pembagian pengambilan hukum (istinbath) oleh Imam Asy-Syafi’î.
Itu fase awal ketakutan kehilangan cara menafsirkan teks sehingga pemikir awal merumuskan hermeneutika “sederhana” untuk mencegah berhentinya orang menafsirkan Alquran. Tapi sejarah berulang, lama setelah itu, disiplin-disiplin keislaman—terutama usul fiqh, fiqh, tafsir, dan ulûm Alquran—mandeg setelah semakin canggih, di satu sisi dan banyaknya pertentangan politik, di sisi lain.
Epistemologi tradisional pemikiran Islam di kemudian hari lebih banyak beralih kepada tradisi skolastik Abad Pertengahan hingga munculnya kembali gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang dimulai oleh perjumpaan kaum Muslim dengan kolonialisme.
Selama berabad-abad lamanya tidak pernah muncul pemikiran Islam yang sama sekali baru, kecuali sekedar pengulang-ulangan yang bersifat tautologis, di mana umat Islam—dan tradisi hermeneutika Alqurannya—tinggal mewarisi trilogi ortodoksi: paradigma Asy-Syafi’i, otoritas Al-Asy‘ari, dan ekletisisme Al-Gazhali.
Fase kedua hermeneutika Alquran terjadi pada masa modern ini. Menurut Andrew Rippin, kesadaran tersebut berkaitan dengan kepentingan menciptakan model-model penafsiran yang memadai terhadap Alquran dengan bantuan kesadaran dan beragam metodologi ilmiah yang tersedia. Dengan instrumen metodologis tersebut, penafsiran Alquran diharapkan mampu merasionalkan doktrin yang ditemukan dalam, atau dirujukkan kepada Alquran. Dan pada saat yang sama, mendemitologisasi berbagai pemahaman mistis dan metafisik di sekitar penafsiran Alquran.