REPUBLIKA.CO.ID, Manusia dengan tepat disebut sebagi 'alamushshaghir' atau jasad-kecil di dalam dirinya.
Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan hanya oleh orang-orang yang ingin menjadi dokter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin mencapai pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan. Sebagaimana studi yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa di dalam sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan pada kita lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya.
Di atas semua itu, pengetahuan tentang jiwa memainkan peranan yang lebih penting dalam membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan ketimbang pengetahuan tentang jasad kita dan fungsi-fungsinya.
Jasad bisa diperbandingkan dengan seekor kuda dengan jiwa sebagai penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seorang manusia tidak mengetahui jiwanya sendiri—yang merupakan sesuatu yang paling dekat dengannya—maka apa arti klaimnya bahwa ia telah mengetahui hal-hal lain. Kalau demikian, ia bagaikan seorang pengemis yang tidak memiliki persediaan makanan, lalu mengklaim bisa memberi makan seluruh penduduk kota.
Seseorang yang mengabaikannya dan menodai kapasitasnya dengan karat atau memerosotkannya, pasti menjadi pihak yang kalah di dunia ini dan di dunia mendatang. Kebesaran manusia yang sebenarnya terletak pada kapasitasnya untuk terus-menerus meraih kemajuan. Jika tidak, di dalam ruang temporal ini, ia akan menjadi makhluk yang paling lemah di antara segalanya—takluk oleh kelaparan, kehausan, panas, dingin dan penderitaan.
Sesuatu yang paling ia senangi sering merupakan sesuatu yang paling berbahaya baginya. Dan sesuatu yang menguntungkannya tidak bisa ia peroleh kecuali dengan kesusahan dan kesulitan. Mengenai inteleknya, sekedar suatu kekacauan kecil saja di dalam otaknya, sudah cukup untuk memusnahkan atau membuatnya gila.
Sedangkan mengenai kekuatannya, sekadar sengatan tawon saja sudah bisa mengganggu rasa santai dan tidurnya. Mengenai tabiatnya, dia sudah akan gelisah hanya dengan kehilangan satu rupiah saja. Dan tentang kecantikannya, ia hanya sedikit lebih cantik daripada benda-benda memuakkan yang diselubungi oleh kulit halus. Jika tidak sering dicuci, ia akan menjadi sangat menjijikkan dan memalukan.
Sebenarnyalah manusia di dunia ini sungguh amat lemah dan hina. Hanya di dalam kehidupan yang akan datang sajalah ia akan mempunyai nilai, jika dengan sarana "kimia kebahagiaan" tersebut ia meningkat dari tingkat hewan ke tingkat malaikat. Jika tidak, maka keadaannya akan menjadi lebih buruk dari orang-orang biadab yang pasti musnah dan menjadi debu. Perlu baginya untuk—bersamaan dengan timbulnya kesadaran akan keunggulannya sebagai makhluk terbaik—belajar mengetahui juga ketidakberdayaannya, karena hal ini juga merupakan salah satu kunci kepada pengetahuan tentang Tuhan.