REPUBLIKA.CO.ID,Gambus merupakan salah satu musik yang telah berusia ratusan tahun. Sampai kini masih tetap populer. Berkembang sejak abad ke-19, saat berdatangan para imigran Arab dari Hadramaut (Republik Yaman) ke Nusantara. Kalau para walisongo menggunakan gamelan sebagai sarana dakwah, para imigran Hadramaut yang datang belakangan menjadikan gambus sebagai sarananya. Dengan menggunakan syair-syair kasidahan, mengajak masyarakat mendekatkan diri pada Allah dan mengikuti teladan Rasul-Nya.
Sementara kasidahan mengumandangkan salawat kepada Nabi, gambus berkembang jadi sarana hiburan. Tidak heran pada 1940-an sampai 1960-an (sebelum muncul dangdut), gambus merupakan sajian yang hampir tidak pernah ketinggalan dalam pesta-pesta perkawinan dan khitanan.
Bahkan kini, gambus dimainkan di hotel-hotel berbintang lima terutama pada pesta perkawinan warga keturunan Arab. Juga merambah ke rumah-rumah penduduk warga Betawi dan hadir pada malam hari setelah acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Dahulu kala, pada acara-acara gambusan, yang turun untuk ber-zafin (tarian asal dari Timur Tengah) seluruhnya adalah pria. Kini, sudah tidak lagi. Di pesta-pesta saat gambus main banyak para gadis, termasuk ibu-ibu, ikut turun melantai. Bahkan di Jakarta ada gambus pimpinan Soraya yang seluruh pemainnya wanita.
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa perintis gambus modern--yang tidak lagi berorientasi ke Hadramaut, tapi Mesir--adalah adalah Syech Albar. Dialah ayah penyanyi rock berambut kribo dari kelompok God Bless, Ahmad Albar, dan kakek pemain sinetron Fachri Albar.
Syech Albar, kelahiran Surabaya pada 1908, boleh dibilang perintis jalan ke medan yang lebih luas dari sejarah musik gambus di Indonesia. Sebab, kepopulerannya melebihi penyanyi-penyanyi gambus terdahulu.
Pamornya makin naik naik seiring dengan meluasnya peredaran piringan hitam di tengah masyarakat. Di samping itu, juga terdongkrak oleh terus bermunculannya stasion-stasion radio di Indonesia, yang dibangun oleh NIRO--RRI-nya di zaman kolonial.
Sejak akhir 1920-an, lagu-lagu Syech Albar dengan orkes gambusnya sering diperdengarkan di radio, termasuk di Jakarta. Pada 1931, musik rayuan irama padang pasirnya ini telah direkam pada piringan hitam His Master's Voice yang merupakan perusahaan rekaman terkemuka kala itu. Maka, lagu-lagu gambus Syech Albar pun dapat melanglang buana ke Singapura, Malaysia, dan Timur Tengah.
Jalan yang dirintis oleh Syech Albar di Surabaya ini diikuti para pemuda keturunan Arab lainnya. Di Jakarta muncul beberapa orkes gambus, seperti Al-Wathan pimpinan Hasan Alaydrus dan Al-Wardah pimpinan Muchtar Lutfi.
Sementara di Kampung Arab, Pekojan (kala itu) berdiri Orkes Gambus Al-Usysyaag pimpinan Husein Aidid. Dia kemudian pada 1950-an, ia mendirikan Orkes Melayu Kenangan. Dari sinilah kemudian lahir dangdut, dengan penyanyi-penyanyi Elvie Sukaesih, Ellya Khadam, Munif Bahaswan, M Mashabi, disusul Rhoma Irama, Muchsin Alatas, dan Mansyur S.
Di daerah-daerah yang banyak dihuni keturunan Arab gambus pun bermunculan. Seperti di Cirebon, Tegal, Indramayu, Ujung Pandang, Gorontalo, dan Palembang. Apalagi kala itu film Mesir diputar di bioskop-bioskop Indonesia, khususnya di Biokop Alhambra, Sawah Besar (kini sudah jadi bagian dari gedung Bank Mandiri). Seperti film India, film Mesir juga banyak nyanyiannya. Yang kesohor adalah Ummi Kalsoum, Abdul Wahab, dan Farid Al-Atras.
Pada mulanya, para imigran Arab membawa sendiri peralatan petik gambus dari negeri asalnya. Tapi kini sudah diproduksi sendiri, yang tidak kalah mutunya. Musik petik gambus ini di Timur Tengah dinamai Oud. Jadi istilah gambus hanya dikenal di Indonesia. Entah siapa yang memulai menamakannya.