REPUBLIKA.CO.ID, Catatan-catatan di atas memungkinkan kita memasuki lebih dalam makna seruan-seruan yang melekat di bibir orang-orang Mukmin: "Subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, Allahu Akbar."
Mengenai yang terakhir, kita bisa berkata bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa Allah lebih besar dari penciptaan, karena penciptaan adalah pengejawantahan-Nya, sebagaimana cahaya adalah pengejawantahan matahari.
Dan akan tidak benar kalau dikatakan bahwa matahari lebih besar dari cahayanya sendiri. Hal itu lebih berarti bahwa kebesaran Allah sama sekali melampaui kemampuan kognitif dan bahwa kita hanya bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang-Nya.
Jika seorang anak meminta kita untuk menerangkan padanya kesenangan-kesenangan yang ada di dalam pemilikan kedaulatan, kita bisa berkata bahwa hal itu adalah seperti kesenangan-kesenangan yang ia rasakan di dalam bermain-main dengan alat pemukul dan bola, meskipun pada hakikatnya keduanya tidak memiliki sesuatu yang sama kecuali bahwa keduanya termasuk ke dalam katagori kesenangan.
Jadi, seruan Allahu Akbar berarti bahwa kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan pemahaman kita. Lagi pula, pengetahuan tentang Allah yang tidak sempurna seperti itu—sebagaimana yang bisa kita peroleh—bukanlah sekadar suatu pengetahuan spekulatif belaka, tetapi mesti dibarengi dengan penyerahan dan ibadah.
Jika seseorang meninggal dunia, dia berurusan hanya dengan Allah saja. Dan jika kita harus hidup bersama seseorang, kebahagiaan kita sama sekali tergantung pada tingkat kecintaan yang kita rasakan kepadanya. Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah.
Ibadah dan dzikir yang terus-menerus seperti itu mengisyaratkan suatu tingkat tertentu dari keprihatinan dan pengekangan nafsu-nafsu badaniah. Hal ini tidak berarti bahwa seseorang diharapkan untuk sama sekali memusnahkan nafsu-nafsu badaniah itu, karena jika demikian halnya, maka ras manusia akan musnah. Tetapi batasan-batasan yang ketat mesti dikenakan pada usaha pemuasannya.
Dan karena manusia bukan hakim yang terbaik dalam kasusnya sendiri, maka untuk menetapkan batasan-batasan apa yang harus dikenakan itu, sebaiknya ia konsultasikan masalah tersebut kepada pembimbing-pembimbing ruhaniah. Pembimbing-pembimbing ruhaniah seperti itu adalah para nabi. Hukum-hukum yang telah mereka tetapkan berdasar wahyu Tuhan menentukan batasan-batasan yang mesti ditaati dalam persoalan-persoalan ini.
Orang yang melanggar batas-batas ini berarti "telah menganiaya dirinya sendiri", sebagaimana tertulis di dalam Alquran. Meskipun pernyataan Alquran ini telah jelas, masih ada juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang Allah, melanggar batas-batas tersebut.