REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG - Larangan mencekal seseorang bepergian ke luar negeri yang masih dalam tahap penyelidikan tidak berpengaruh terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penegasan tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Mahfud MD.
"Begini, MK menyatakan orang yang masih dalam tahap penyelidikan tidak boleh dicekal ke luar negeri dengan pembatalan pasal terkait pencekalan pada UU Nomor 6/2011 tentang Keimigrasian," katanya, di Semarang, Jumat (10/2).
Dengan dibatalkannya pasal terkait pencekalan pada UU Keimigrasian itu, kata dia, pejabat imigrasi tidak bisa lagi mencegah seseorang yang tersangkut masalah hukum dan masih dalam tahap penyelidikan bepergian ke luar negeri.
Namun, ia menjelaskan, larangan pencekalan itu dikecualikan untuk kasus korupsi yang ditangani KPK, sebab KPK merupakan lembaga pemberantasan korupsi yang diberi kewenangan khusus dengan perundang-undangan tersendiri.
"Kenapa? KPK adalah lembaga khusus yang diberi kewenangan dengan UU tersendiri (UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), termasuk meminta imigrasi mencegah seseorang ke luar negeri," katanya menegaskan.
Ia menjelaskan, KPK tetap bisa meminta pihak imigrasi mencegah seseorang ke luar negeri sebagaimana tertuang pada Pasal 12 UU KPK, untuk orang yang sedang diselidiki, disidik, bahkan diperlukan sebagai saksi oleh KPK.
Menurut dia, pembatalan pasal pencekalan dalam UU Keimigrasian itu hanya berlaku bagi orang-orang yang dalam proses penyelidikan yang ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan, bukan kasus korupsi yang ditangani KPK.
"KPK tetap boleh (meminta pencekalan, red.). Yang dibatalkan kan UU keimigrasian, sementara KPK punya UU sendiri, UU KPK," kata Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tersebut.
Mahfud mengakui saat ini banyak yang salah paham dengan dampak pembatalan pasal pencekalan dalam UU Keimigrasian dengan pencekalan yang dilakukan KPK, padahal sebenarnya tidak ada pengaruhnya karena KPK diatur UU sendiri.