REPUBLIKA.CO.ID, Menurut ulama mazhab Hanafi, hukumnya tidak diperbolehkan, kecuali harta yang memang sudah menjadi hak istri.
Sedangkan di mazhab Maliki, riwayatnya hampir sama, yaitu diperbolehkan selama istri termahjub (terhalang) dari haknya. Pendapat paling menonjol adalah pendapat mazhab Hanbali yang menyatakan larangan mengambil harta suami tanpa seizinnya secara mutlak.
Pendapat ini merujuk pada salah satu hadis yang diriwayatkan Bukhari di bab tentang hal ihwal nafkah. Di antaranya ialah hadis riwayat Aisyah RA. Hadis itu mengisahkan pengaduan oleh Hindun bin Atabah di hadapan Rasulullah.
Ia mengaku telah mengambil uang suaminya, Abu Sufyan. Konon, sang suami, menurutnya, sangat bakhil. Ia terpaksa memungut harta suami tanpa sepengetahuannya. Lalu, Rasulullah bersabda, “Ambillah sebatas apa yang cukup bagimu dan anakmu dengan wajar.”
Riwayat lain menyebutkan, jawaban yang disampaikan oleh Rasulullah itu dilontarkan setelah melakukan klarifikasi langsung ke Abu Sufyan.
Imam Nawawi menambahkan, tidak diperbolehkan mengutak-utik harta suami tanpa seizinnya. Sekalipun untuk maksud bersedekah, atau berbuat kebaikan lainnya. Kecuali kalau suami bakhil dan tidak memenuhi kewajibannya, istri boleh melakukannya dengan wajar dan tidak berlebihan untuk kebutuhan keluarga inti.
Di luar itu, seperti belanja urusan sekunder, atau bersedekah, tetap harus seizin suami. Kecuali bila harta yang dibelanjakan itu murni harta pribadi istri, sah-sah saja ia men-tasharruf-kannya walaupun tanpa mengantongi izin suami.