REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Mahkamah Agung menyatakan, tidak menemukan adanya kesalahan majelis hakim di tingkat pertama maupun banding dalam proses persidangan Antasari Azhar.
Menurut anggota majelis hakim agung peninjauan kembali (PK) perkara Antasari, Djoko Sarwoko, tidak ada bukti baru (novum) dalam perkara mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut. “Dengan begitu maka PK terpidana ditolak,” kata Djoko ketika dihubungi, Senin (13/2).
Ketua Muda Pidana Khusus tersebut menjelaskan, putusan PK dilakukan secara bulat oleh lima orang majelis hakim agung, yang terdiri Harifin Andi Tumpa, Hatta Ali, Komariyah, dan Imron Anwari, serta dirinya. Karena tidak ada kesalahan nyata dari putusan judex factie dan judex jurist, serta tidak ada bukti yang membantah perbuatan terpidana terkait pembunuhan direktur utama PT Rajawali Putra Banjaran Nasrudin Zulkarnaen itu, maka putusan hakim sama dengan tahap sebelumnya. “Ya intinya dua hal sesuai dengan alasan PK yang mampu membatalkan keterbuktian perbuatan terpidana,” tegas Djoko.
Wakil Ketua Komisi Yudisial Imam Anshori Saleh mengaku sudah jauh hari memprediksi putusan PK Antasari ditolak. Majelis hakim agung PK, sebut Imam, pasti linier dengan penolakan MA terhadap rekomendasi KY tentang usulan sanksi nonpalu terhadap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan hukuman penjara 18 tahun penjara kepada Antasari.
Pihaknya berharap MA dalam membuat putusan murni berdasarkan pertimbangan hukum, bukan karena intervensi dari pihak eksternal yang berkepentingan dengan kasus itu. “Prinsipnya KY tetap hormati putusan hakim,” ujar Imam.
Pakar hukum tata negara Jimly Ashiddiqqie menyatakan kekecewaan terhadap putusan MA yang menolak PK Antasari. Meski begitu, pihaknya mengimbau kepada yang bersangkutan agar tidak ada langkah lain, kecuali menghormatinya. Sebab membangun tradisi menghormati putusan pengadilan sama pentingnya dengan keadilan itu sendiri.
Jadi apa boleh buat, lanjut Jimly, mudah-mudahan Antasari dan keluarga, terutama anaknya yang mau menikah itu tidak terpengaruh dengan putusan yang mengecewakan itu. “Saya sejak awal menyampaikan bahwa kasus ini contoh peradilan sesat,” ujar mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Jimly menjelaskan, karena sesatnya itu sejak awal, maka sulit untuk diperbaiki diujung dengan mengharapkan PK dikabulkan. Ini lantaran secara teknis hukum sesatnya sudah sejak awal, sehingga pihak terkait lebih baik menerima saja putusan itu.
Terkait pertimbangan putusan hukum yang baru keluar dua hari kemudian, Jimly mengkritiknya. Harusnya, saran dia, setiap peradulan terbuka untuk umum, maka putusan tersebut lengkap tertulis dan ditandatangani oleh majelis hakim yang memutus. Kemudian, naskah putusan harus dibagikan pada perserta sidang beserta lampirannya. “Itu harusnya dijadikan contoh keputusan yang profesional, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.