REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui penanganan sejumlah konflik komunal sering terlambat. Bahkan terkadang kurang profesional.
"Saya akui bahwa sejumlah penanganan pada kejadian tertentu itu terlambat, kadang-kadang kurang profesional. Kadang penjelasan dari pemerintah daerah kurang terwakili. Tapi percayalah, yang terjadi bukan pembiaran," kata Presiden SBY saat memaparkan perkembangan Tanah Air kepada perwakilan asing di Kementerian Luar Negeri, Rabu (15/2).
Ia menegaskan kondisi di Indonesia sudah jauh lebih baik dan tidak seburuk sebelumnya, terutama dalam hal penanganan konflik. "Kerukunan umat beragama, kerukunan sosial, dan kerukunan nasional bisa dijaga dengan baik. Tak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu," lanjut SBY.
Presiden mengatakan, banyak konflik yang diupayakan selesai dengan pendekatan hukum. Sayangnya, hal tersebut seringkali tidak berhasil. Maka, penyelesaian konflik pun diubah dengan mengedepankan dialog. "Meski tidak muncul di media, banyak konflik yang terselesaikan melalui mediasi," ujarnya.
Ia mencontohkan kasus Ahmadiyah. Negara tidak melarang siapa pun yang memiliki keyakinan, tetapi negara mengatur. Begitu pula kasus gereja Yasmin yang bermula di 2002. Konflik yang berkembang lebih bersifat perizinan. "Untuk kasus ini dilakukan pendekatan hukum dan mediasi. Saya ingin jemaat GKI Yasmin menjalankan ibadahnya dengan tenang di Bogor," katanya.