REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Amnesti Internasional mendesak DPR mengambil langkah kongkret untuk melindungi para penata laksana rumah tangga (PLRT) dengan mengesahkan Undang-Undang (UU) Perlindungan PRT di 2012. Desakan Amnesti International yang bermarkas di London itu terkait dengan berkumpulnya PRT Indonesia untuk memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga.
"DPR harus membuat perlindungan terhadap penata laksana rumah tangga sebagai prioritas di 2012," ujar Josef Roy Benedict, Campaigner Amnesti Internasional untuk Indonesia dan Timor Leste di London, Rabu (15/2).
Pihaknya menyambut baik perkembangan belakangan ini oleh kelompok kerja di DPR yang membahas RUU tersebut. Namun kegagalan terus berlangsung dalam mengesahkan UU ini. Padahal, RUU ini telah menjadi agenda legislasi sejak tahun 2010. Hal ini membuat jutaan PLRT di Indonesia, yang mayoritas perempuan dan anak perempuan, semakin rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan sewenang-wenang.
Menurut Benedict, PLRT tidak diakui secara legal sebagai tenaga kerja dan tidak menikmati perlindungan dan jaminan yang sama dengan tenaga kerja lainnya di Indonesia. Tanpa perlindungan legal yang memadai, mereka sering dieksploitasi secara ekonomi, hidup dan bekerja di kondisi yang buruk, serta menjadi subjek kekerasan psikologis dan seksual secara rutin.
Amnesti International menerima informasi bahwa komisi IX DPR, yang membawahi proses pembuatan UU, telah membentuk kelompok kerja untuk mendiskusikan RUU tersebut, bulan lalu. Namun, pihaknya prihatin bahwa posisi RUU itu tidak memenuhi standar dan hukum internasional, terutama terkait dengan PLRT anak, jam kerja, gaji, dan mekanisme resolusi perselisihan.