REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Panja RUU Pemilu akhirnya menyepakati mengenai ketentuan tentang kepala daerah yang harus mengundurkan diri sebagai syarat pencalegan. Ketentuan ini dimasukan dalam pasal pasal 50 ayat (1) huruf k RUU Pemilu.
Pengaturan tersebut dicantumkan dalam klausul yang berbunyi, 'mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil (PNS), anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), kepala daerah, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali'.
"Saat penyerahan mana-nama daftar calon sementera, maka surat pengunduran diri sudah diserahkan, dan surat ini diproses di DPRD," kata anggota Panja RUU Pemilu dari fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin kepada wartawan, Kamis (16/2).
Selanjutnya, kata dia, DPRD mengambil keputusan atas surat pengunduran diri tersebut dan surat itu diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lembaga penyelenggara pemilu ini mendapatkan keputusan surat pengunduran diri satu minggu sebelum daftar calon tetap (DCT) ditetapkan.
"Konstruksi prosesnya demikian, dan disepakati untuk dibawa ke rapat Timus. Intinya adalah putusan rapat DPRD atas surat pengunduran diri kepala daerah pada saat DCT ditetapkan," jelas anggota Komisi II DPR tersebut.
Nurul menjelaskan, pasal ini berlaku juga pada DPD. Sedangkan untuk PNS, Polri, TNI dan BUMN/BUMD, berlaku ketentuan yang serupa dengan pola yang berbeda. Bagi PNS, anggota Polri, anggota TNI, pengurus BUMN/BUMD, apabila sudah mencalonkan diri, maka secara otomatis surat pengunduran diri tersebut berlaku tanpa diproses terlebih dahulu atasannya.
Anggota Pansus RUU Pemilu dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arwani Thomafi menambahkan, ketentuan kapan harus mengundurkan diri kepala daerah diserahkan ke timus. "Tentu dengan mengacu ketentuan persetujuan DPRD sebagaimana diatur dalam undang-undang pemda," papar dia.