REPUBLIKA.CO.ID, Hadis maudhu’ atau palsu muncul dan merebak ketika dunia Islam diguncang ketegangan setelah Khalifah Usman bin Affan dibunuh pada tahun 35 H. Sosok Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang memeluk Islam, kerap disebut-sebut sebagai biang kerok dari ketegangan di kalangan pemimpin dan umat Islam pada zaman itu.
Abdullah bin Saba dan komplotannya menabur fitnah di berbagai kota Islam. Mereka mencongkel dan menggulingkan sejumlah gubernur yang ditempatkan Khalifah. Gubernur Mesir, Amru Bin Ash berhasil didongkel lewat fitnah yang diterbarkan kelompok Sabaiyah. Setelah itu, Gubernur Kufah, Amru bin Ash juga digulingkan.
Namun, mereka gagal mendongkel Muawiyah dari kursi Gubernur Syam, karena posisinya begitu kuat. Suhu politik di dunia Islam ketika itu makin memanas, ketika Khalifah Usman bin Affan dibunuh. Menurut sebuh versi, Abdullah bin Saba’ terlibat dalam pembuhunan Khalifah Usman bin Affan. Ada pula yang menyebut pembunuh khalifak ketiga itu adalah Amr bin Hamiq Al-Khuza’i.
Sehingga, ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib berkuasa Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya yang berpura-pura mendukung Ali mendesak agar Umayyah dicopot dari jabatannya sebagai gubernur. Ketegangan makin meningkat, ketika Muawiyyah mendesak Khalifah Ali untuk segera menghukum pelaku pembunuhan Khalifah Usman.
Bahrul Ulum dalam tulisannya bertajuk Hukum Meriwayatkan dan Menyebarkan Hadis Palsu, mengungkapkan, Abdullah bin Saba’ menyebarkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa Ali-lah yang lebih layak menjadi khalifah, dibandingkan Usman bahkan Abu Bakar dan Umar.
Kelompok itu berpendapat, Ali telah mendapat wasiat dari Nabi SAW. Hadis yang digaung-gaungkan oleh kelompok Abdullah bin Saba’ itu berbunyi, “Setiap Nabi itu ada penerima wasiatnya dan penerima wasiatku adalah Ali.” Menurut para hali hadis, hadis tersebut ternyata palsu.
Pada masa itu, hadis palsu belum terlalu marak. Sebab, masih banyak sahabat Rasulullah yang masih hidup. Mereka, menurut Bahrul, memahami secara pasti benar atau palsunya sebuah hadis. ‘’Khalifah Usman, sebagai contohnya, pernah mengusir Ibnu Saba’ dari Madinah karena telah membuat hadis palsu,’’ tutur Bahrul.