REPUBLIKA.CO.ID, Ketika bermukim di Damaskus, Ibnu Qudamah dianggap sebagai imam penduduk Syam (Suriah). Beberapa disiplin ilmu ia kuasai.
Salah seorang keponakannya, Ad-Dhiya' Al-Maqdisi, menyebut Ibnu Qudamah sebagai penghulu di bidang tafsir, hadits, dan masalah-masalah peliknya.
Dalam bidang fikih (mazhab Hanbali) ia adalah nomor satu pada waktu itu. Masalah khilafiyah ia kuasai. Dalam ilmu faraidh, ia jagonya. Sementara dalam bidang usul fikih, nahwu, hisab dan ilmu kosmografi, Ibnu Qudamah bisa dikatakan merupakan imamnya.
Pantas jika Al-Manni, gurunya, memujinya. "Bila kau pergi dari Baghdad maka tak ada yang bisa menggantikanmu,'' kata Al-Manni kepadanya sewaktu di Baghdad.
Karena pengetahuannya yang luas itu, tak mengherankan jika majelis yang diselenggarakannya selalu sesak oleh kalangan fuqaha (ahli fikih), muhadditsin (ahli hadits) dan pecinta ilmu. Setiap hari Ibnu Qudamah mengajar dari pagi hingga siang hari. Setelah waktu Dzuhur, pengajian ini diteruskan hingga senja.
Para santri yang mengikuti pengajian Ibnu Qudamah tidak pernah merasa bosan. Sebagai seorang pendidik, ia dikenal telaten mendidik murid-muridnya itu. Ia juga kerap menyelingi pengajiannya dengan cerita dan humor.
Kesan pertama yang didapat oleh orang yang melihat Ibnu Qudamah adalah decak kekaguman. Dalam buku "Guruku di Pesantren" dipaparkan bahwa postur tubuh Ibnu Qudamah sulit dicari tandingannya. "Berperawakan sempurna, kulit putih, wajah ganteng bersinar, seakan cahaya menyorot dari wajahnya, kening lebar, jenggot panjang, hidung mancung, kedua alis menyatu, kepala kecil, ramping, tangan dan telapak kakinya lembut,'' begitu Ad-Dhiya' mengungkap lahiriyah Ibnu Qudamah dalam biografinya yang ia karang sebanyak dua juz.
Bukan cuma penampilan lahir saja yang patut diacungi jempol. Kepribadian Ibnu Qudamah juga pantas dibanggakan. Dia berotak jenius, berhati bersih, wara', penyabar, pendiam, pemalu, lemah lembut, tidak senang dunia, rendah hati, dermawan, mencintai anak kecil dan orang miskin. Karena akhlaknya yang mulia ini sejarawan Yusuf Sibth Al-Jauzi, dalam Mir'ah Az-Zaman menyebutkan siapa yang melihat Ibnu Qudamah bagaikan melihat seorang sahabat Nabi.
Senyum selalu tersungging di bibirnya, bahkan ketika ia berdebat sekalipun. Setiap hari Jumat, Ibnu Qudamah membuka acara perdebatan mengenai bermacam-macam permasalahan umat kala itu dengan bertempat di Masjid Amawi, Damaskus. Ia tidak berdiksusi kecuali dengan senyum tersimpul di bibirnya. Bahkan ketika ia mengalahkan lawan bicaranya pun dengan senyuman itu.