REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO— Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan pemimpin Hamas Khaled Meshaal menyetujui kesepakatan persatuan setelah pembicaraan di Kairo pada Rabu (22/2).
"Pertemuan itu memutuskan untuk sepenuhnya melaksanakan perjanjian rekonsiliasi dan deklarasi Doha," kata seorang pembantu Meshaal, Izzat al-Rishq, kepada Associated Press.
Rishq mengatakan, pertemuan ini mengakhiri perdebatan mengenai posisi Hamas terhadap kesepakatan Doha. “Pertemuan ini juga mengakhiri spekulasi adanya perbedaan pendapat di internal Hamas,"katanya.
Namun sebelumnya, Rabu, anggota kepemimpinan Hamas mengatakan, kesepakatan itu harus dilaksanakan secara menyeluruh dan jujur. "Kami menekankan pentingnya pelaksanaan yang lengkap dan jujur dari perjanjian rekonsiliasi Kairo dan Doha untuk mengakhiri perpecahan dan menyatukan front nasional," kata mereka dalam sebuah pernyataan.
Sebuah perselisihan panjang tentang jabatan perdana menteri tampaknya telah diselesaikan pada awal Februari, ketika Abbas dan Meshaal menandatangani kontrak di Qatar yang menempatkan Abbas sebagai kepala pemerintah sementara. Namun, parlemen Hamas mendesak pembatalan perjanjian dengan Fatah karena melanggar konstitusi. Mereka mengatakan setelah pertemuan di parlemen di Kota Gaza, UUD menetapkan pemisahan kedua jabatan tersebut. Namun, Fatah membantah ada pelanggaran undang-undang dalam kaitan dengan hal itu.
Abbas dan Mashaal membahas langkah-langkah berikutnya dalam kesepakatan itu, termasuk pembentukan pemerintah sementara yang akan terdiri dari teknokrat politik independen. Komposisi kabinet ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan Hamas yang dicap sebagai organisasi teror oleh barat.
Sebuah stasiun TV Hamas di Gaza mengatakan mengatakan pertemuan itu positif dan kedua pemimpin bergerak ke arah yang benar untuk kebaikan rakyat Palestina.Abbas mendapat dukungan dari negara-negara AS dan Eropa, tetapi masih belum jelas bagaimana jika rekonsiliasi dengan Hamas semakin erat.