REPUBLIKA.CO.ID, Ahmad Sumargono -- lebih popular disebut Gogon -- lahir di Jakarta, 1 Februari, 1943, dari pasangan R Sumantri dan RR Sumariah.
Ia sebenarnya bukan anak Betawi asli melainkan dari 'Wetan' yaitu berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Meski begitu, Gogon dibesarkan di lingkungan masyarakat Betawi di Petojo, Jakarta Pusat.
Maka tak heran jika gaya bicaranya ala Betawi dan sangat terpengaruh oleh kebiasaan orang Betawi. Secara geneologis, Gogon adalah orang Jawa tetapi secara kultural ia telah di-Betawikan.
Gogon adalah anak ke-5 dari 7 bersaudara, yang terdiri dari 4 laki-laki dan 3 perempuan. Ayahnya telah wafat saat Gogon masih kecil. Dari tujuh bersaudara Gogon termasuk anak yang beruntung, karena hanya dia satu-satunya yang berkesempatan mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi dan menyandang gelar sarjana.
Di usia tiga tahun, ia ditinggal wafat ayahnya, lalu dibesarkan oleh kehidupan yang penuh keprihatinan. Tak lama kemudian, ia diasuh oleh bibinya, Supartinah dan pamannya Mohammad Arup, orang Betawi di kawasan Petojo, Jakarta Pusat.
MArup bekerja di Departemen Keuangan dan belum memiliki anak. Allah Maha mengetahui harapan hambanya ini. Hamba yang selalu berdoa memohon kehadiran seorang anak doanya dikabulkan Tuhan. Rupanya, kehadiran Gogon dalam rumah pamannya 'memancing' bibinya untuk memiliki anak. Maka, baru setahun setelah Gogon tinggal bersama keluarga pamannya itu, Alllah pun menganugrahi keluarga Arup seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Bambang Sukamto.
Keluarga Arup bukanlah keluarga yang penuh kemewahan material. Sangat Sederhana. Di tengah-tengah keluarga sederhana dan jauh dari cara hidup yang hura-hura, Gogon tumbuh dan berkembang.
Ayah angkatnya dikenal sangat 'keras' dalam mendidik anak. ''Saya tak punya jas, sehingga tak pernah pergi ke pesta,'' ujar Gogon. Maka, ia pun lebih banyak mengaji di Masjid, dengan ilmu agama Islam tradisional.
Gogon, mengenyam pendidikan dimulai di Sekolah Rakyat (SR) Petojo Udik, Jakarta yang diselesaikan tahun 1956, kemudian ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta AMPRI di Jakarta yang diselesaikannya tahun 1960.
Dalam masa remajanya, selain mengaji ia pernah belajar ilmu kanuragan dan belajar pencak silat yang dilakukan usai jam pelajaran sekolah. Memang dalam kehidupan masyarakat Betawi menurutnya hanya ada dua; kalau tidak pergi ke masjid atau mengaji, belajar silat. tidak ada pilihan lain.
Sampai ia menginjak dewasa, minat Gogon terhadap ilmu bela diri makin besar. Ia tak ragu menelusuri berbagai kampung di daerah Banten untuk berguru ilmu kebal. Akan tetapi setelah cukup lama mempelajari ilmu itu, Gogon pun merasakan sesuatu yag tidak beres. Ia merasa mempelajari ilmu kanuragan sia-sia dan menjauhkan dirinya dari Tuhan. Segera saja ia meninggalkan ilmu tersebut. Kehidupan masa itu disebutnya sebagai masa 'zaman jahiliyah', belum kenal Tuhan.
Gogon ingin mencari sebuah kehidupan baru yang diwarnai oleh kedekatannya kepada Tuhan. Ia berhasil menemukannya. Masa beranjak dewasa dan perantauan pemikiran dan mental membuatnya menemukan suasana kebatinan dan religius yang lebih dalam, Gogon mulai banyak merenung dan menyendiri 'mencari' makna hidup dan kehidupan yang lebih dalam dari itu. Ia pun menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMU) dari Sekolah Menengah Atas Negeri X pada tahun 1963. Waktu itu merupakan masa dimana ia mulai aktif beribadat seperti puasa Senin-Kamis, Sholat Tahajud, mengikuti pengajian yang khusus dan umum.
Di masa Sekolah Menengah Atas (SMA) ini, ia mulai berkecimpung dalam dunia organisasi pemuda lokal, yaitu aktifitas pemuda antar Rukun Warga (RW) sekawasan Petojo Selatan. Ia mengkoordinir uang hasil pendapatan para penjual Koran dan majalah. Di sini, nampak naluri berorganisasi dan bisnisnya mulai muncul. Dan hal itu datang secara alami, tidak dibuat-buat. Ia pun belajar mengaji secara khusus dengan guru ngaji yang bernama Engkong Sanen.
Dari sini Gogon mulai banyak bergaul dengan kalangan yang usianya jauh di atasnya (para orang tua). Ia pun dipercaya untuk menjadi Imam sholat berjamaah di lingkungan tempat tinggalnya, sambil juga belajar ilmu qiroah dengan Ustad Kholili dari Banten. Ustad Kholili murid dari Kiai ternama di Banten yaitu Kiai Ma?mun. Gogon sempat di gurah semata untuk dapat membaca Alquran dengan cara baca yang indah.
Pada masa ini ia mulai mengenal apa yang disebut partai politik yaitu Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Ia pun sangat mengagumi Soekarno dan Marhenismenya, dalam perspektif sejarah politik di Indonesia. Saat itu memang banyak pemuda yang terpikat dengan gaya pidato pemimpin besar revolusi Indonesia yang memukau dan penuh retorika, dan ini diakui oleh masyarakat Internasional.
Sebaliknya Gogon belum banyak tahu mengenai Partai Masyumi serta tokoh-tokohnya, tidak sulit bila kita mengkaji, kenapa demikian. Hal ini disebabkan karena lingkungan sosial dan keagamaan tempat Gogon berinteraksi dan bergaul, berada di lingkungan masyarakat Jakarta yang tradisional, baik dalam pandangan pemahaman agama maupun dunia politik masih sangat terbatas. Apalagi orang tua angkatnya berlatar belakang abangan dalam penerapan pemahaman agama.