REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS---Negara-negara Arab dan Barat melancarkan desakan diplomatik terbesar dalam beberapa pekan untuk mengakhiri kekerasan oleh pemerintah Suriah terhadap oposisi.
Tapi pembicaraan di satu hotel Tunisia itu berisiko karena konflik bersenjata meningkat di lapangan.
Para menteri luar negeri dari lebih 50 negara di Tunis yang menghadiri pertemuan "Friends of Syria" mengutuk Presiden Bashar al-Assad dan mendesaknya untuk mengundurkan diri.
Mereka bertemu dengan latar belakang gambar serangan-serangan pemerintah atas kota Homs, benteng oposisi, dan meningkatnya kegeraman dunia atas kekerasan yang telah menewaskan ribuan orang selama pergolakan.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton memperingatkan Bashar -- dan para pendukungnya di dalam Suriah dan di luar negeri -- bahwa mereka akan menanggung risiko atas penumpasan terhadap oposisi dan apa yang dilukiskannya sebagai malapetaka di Suriah.
Dalam komentarnya tentang Rusia dan China, dia berkata, "Mereka bertindak tidak hanya bertentangan dengan keinginan rakyat Suriah tetapi juga kebangkitan seluruh Arab."
"Sungguh mengherankan melihat para anggota tetap Dewan keamanan menggunakan hak veto mereka manakala orang-orang dibunuh - wanita, anak-anak, pemuda yang berani -- rumah-rumah dihancurkan. Suatu perbuatan hina," katanya.
Menlu AS mengatakan dia yakin kekuasaan Bashar segera berakhir tapi sebelum Presiden Suriah mundur, akan banyak lagi pembunuhan.
Rusia dan China memveto resolusi Dewan Keamanan PBB untuk melakukan tindakan keras atas Suriah. Beijing dan Moskow tak bersedia menghadiri pertemuan itu di Tunisia.
Melihat langkah-langkah diplomasi untuk menekan Bashar terbatas, beberapa delegasi dalam konferensi itu, khususnya dari negara-negara Teluk yang telah lama menentang Bashar -- mendesak pembentukan pasukan pemelihara perdamaian internasional di Suriah dan mengusulkan mempersenjatai pemberontak Suriah.
Oposisi Suriah tampaknya mengambil tindakan sendiri dengan menyatakan pihaknya memasok senjata kepada pemberontak di dalam Suriah sementara negara-negara Barat dan lainnya tutup mata.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Saud al-Faisal, yang memimpin kelompok tak senang dengan Bashar, mengatakan mempersenjantai pemberontak Suriah merupakan "ide cemerlang."
Menlu Qatar Sheikh Hamad bin Jassim al-Thani mengatakan dalam pertemuan itu bahwa satu pasukan Arab hendaknya dibentuk untuk membuka dan melindungi koridor kemanusiaan antara benteng-benteng oposisi dan negara-negara tetangga Suriah.
Beberapa wakil dari Dewan Nasional Suriah (SNC), kelompok oposisi utama, mengatakan konflik itu memasuki dimensi militer. "Kami berharap kami akan menjatuhkan rezim itu melalui cara-cara damai tetapi rezim itu melakukan kekerasan dan hanya memahami bahasa kekuatan," kata Bassam Ishaak, salah seorang pejabat SNC, pada pertemuan Tunis.
"Mereka berkuasa dengan kekuatan dan mereka hanya akan pergi dengan kekuatan," katanya.
Meski demikian, dalam komunike akhir "Friends of Syria", tak disebutkan rencana-rencana untuk intervensi atau mempersenjatai pemberontak Suriah.