REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Yusuf Assidiq
Air merupakan sumber kehidupan yang sangat vital. Dewasa ini, kebutuhan terhadap air bersih semakin meningkat, terutama di kota-kota besar, seiring bertambahnya jumlah penduduk serta kegiatan pembangunan.
Namun demikian, kebutuhan yang besar itu tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber air yang melimpah. Dua sumber air yang paling banyak digunakan, yakni air tanah dan air permukaan, bahkan terus menyusut jumlahnya.
Ironisnya, kualitas air pada dua sumber utama tadi ikut menurun. Ini karena pencemaran di sungai dan danau, serta kepadatan penduduk yang berpengaruh pada kualitas air tanah, demikian hasil penelitian Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2007.
Selama ini, ada dua cara penggunaan air oleh masyarakat, yakni mengambil langsung serta dari hasil olahan. Pengolahan air yang bertumpu pada proses daur ulang, menggunakan teknologi yang memungkinkan memperoleh kualitas air seperti diinginkan.
Proses pengolahan tersebut melalui beberapa mekanisme, baik secara fisika, kimia, biologis atau kombinasinya. Dari proses itu, polutan maupun bakteri bisa diendapkan, didegradasikan dan disisihkan.
Sumber air olahan biasanya diambil dari sungai. Dalam perjalanannya, air sungai telah tercampur dengan segala macam kotoran, mulai bahan polutan, tinja, sampah, hingga bangkai binatang. Air inilah yang kemudian masuk ke instalasi pengolahan di perusahaan air.
Lewat proses daur ulang, air dijernihkan dan disalurkan ke pelanggan, baik rumah tangga maupun industri. Hanya saja, disebutkan dalam majalah Jurnal Halal, air daur ulang itu tetap perlu memperhatikan aspek hukum Islam, khususnya karena adanya berbagai masalah tadi.
Mengembalikan status air
Islam sejatinya memiliki rambu-rambu ketat terkait kebersihan air, yang merupakan instrumen penting untuk thaharah dan berwudlu. Bersih ini tentu saja mencakup kesucian dari kandungan bahan-bahan kotor dan haram.
Ditekankan oleh Rasulullah SAW, bahwa bersuci merupakan kunci shalat, sedangkan hadast dapat menghalangi pahala shalat. Hanya dengan wudlu menggunakan air bersihlah, kunci itu bisa terbuka.
Para ulama pun bersepakat dalam kaitan ini. Jika salah satu sifat air tadi berubah, baik baunya, rasanya maupun warnanya, dengan najis, maka berdasarkan ijtima ulama, air itu menjadi najis dan tidak boleh digunakan.
Sementara itu, Saleh al-Fauzan menetapkan dua kriteria air yang dapat dipakai untuk bersuci. Pertama, air yang suci pada zatnya dan dapat menyucikan yang lainnya.
''Kedua, ia adalah air yang masih dalam keadaan aslinya, baik yang turun dari langit seperti hujan, salju dan embun, atau yang mengalir di atas tanah semisal air sungai, sumur, laut, atau air hasil penyulingan,'' terangnya dalam buku Fikih Sehari-hari.
Dari pendapat itu, dapat digarisbawahi adanya jenis air hasil penyulingan, atau dengan kata lain sebagai air daur ulang. Dan ternyata, jenis air ini telah menjadi pokok bahasan penting para ahli fikih terdahulu.
Menurut anggota Komisi Fatwa MUI, Ahmad Munif Suratmaputra, para fukaha berpandangan bahwa air yang terkena najis atau telah berubah salah satu sifatnya, dapat direkayasa untuk mengembalikan status air itu menjadi thahir muthahhir (air bersih).
Dengan demikian, setelah melewati proses pengolahan, maka air daur ulang dapat digolongkan sebagai thahir muthahhir (suci dan menyucikan) sehingga sah dipakai berwudlu, mandi, mencuci najis, istinja dan halal untuk diminum, memasak, dan sebagainya.
''Tapi dengan catatan dapat dipastikan berdasarkan penelitian tidak mengandung hal-hal yang membahayakan kesehatan,'' tegas Ahmad Munif seperti dikutip dari situs IIQ.ac.id.