Ahad 26 Feb 2012 17:58 WIB

Muslimat NU: Putusan MK Soal Anak Luar Nikah Bisa Menjerumuskan

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD (tengah) memimpin sidang uji materiil di MK.
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD (tengah) memimpin sidang uji materiil di MK.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muslimat Nahdlatul Ulama menilai putusan Mahkamah Konstitusi mengenai status anak yang lahir di luar nikah sangat riskan, terutama jika dikaitkan dengan hukum Islam.

Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa mengakui putusan MK terkait dengan uji materi Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sangat baik ditinjau dari sisi kemanusiaan dan administrasi negara.

"Tapi niat baik ini bisa jadi justru menjerumuskan pada akhirnya," katanya. Sebelum diuji materi, Pasal 43 Ayat (1) menyebutkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.

Sementara setelah diuji materi menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya.

Argumentasi yang melandasi keputusan ini, antara lain bahwa setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu.

Anak juga berhak memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menyangkut hak asasi manusia (HAM).

"Padahal, anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah, menurut jumhur ulama tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya," kata Khofifah. Konsekuensinya, anak yang lahir di luar perkawinan, tidak memiliki hak waris dan perwalian dari ayah biologisnya.

"Kalau si anak hasil hubungan di luar nikah ini menikah dan bapak biologisnya menjadi wali, maka tidak sah pernikahannya," kata Khofifah. Oleh karena itu, Muslimat NU mendorong agar dilakukan koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Mahkamah Konstitusi, Majelis Ulama Indonesia, dan ormas Islam untuk mencari jalan keluar yang tepat dalam penataannya.

"Agar terdapat sinergi antara hukum syariat dan hukum legal formal kenegaraan," kata Khofifah. Lebih dari itu, lanjut Khofifah, pergaulan bebas yang dapat menjerumuskan pada perbuatan zina wajib dicegah.

"Karena menimbulkan banyak kesulitan bagi anak sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat serta menimbulkan kekacauan.

sumber : antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement