REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -— Pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy mengatakan, kenaikan harga bahan bakar (BBM) membuktikan kalau pemerintah tidak menjalankan mandat penguasaan sumber daya minyak dengan baik. Itu pun dilakukan tidak untuk kepentingan hajat hidup orang banyak.
Kenaikan itu pun, jelas dia, membuktikan kalau pemerintah gagal mengelola produksi minyak bagi kepentingan ekonomi nasional. ‘’Ini juga bukti kalau pemerintah berhasil didikte oleh kekuatan asing agar harga energi umumnya dan premium khususnya tunduk pada mekanisme pasar bebas,’’ katanya, Ahad (26/2).
Ia menjelaskan, pemerintah akan berlaku tidak adil dengan menetapkan harga premium berdasarkan harga internasional. Pasalnya, pendapatan masyarakat Indonesia tidak bertaraf internasional. Pemerintah juga dianggap mengajarkan hal yang tidak mendidik.
Agar masyarakat bersedia menerima harga premium sesuai mekanisme pasar, tambahnya, maka pemerintah menyuap sekitar 70 juta masyarakat Indonesia melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Padahal, dana itu bersumber dari utang Bank Dunia seperti halnya PNPM.
Noorsy menjelaskan, sesuai Pasal 33 (3) UUD 1945, pemerintah dilarang menyerahkan komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan swasta (domestik/asing). Pemerintah pun dimandatkan untuk mengelola dan mendayagunakannya bagi kesejahteraan masyarakat. Bukan kesejahteraan orang per orang.
‘’Saat produksi dan penyediaan enerji diserahkan ke tangan swasta, maka pemerintah sebenarnya sedang menegakkan berlakunya prinsip-prinsip mekanisme pasar bebas. Dua hal itu mewajibkan pemerintah tidak tunduk pada kemauan atau tekanan korporasi atau industri minyak melalui lembaga-lembaga internasional,’’ tutur dia.