REPUBLIKA.CO.ID, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.” Kalimat ini pernah diucapkan Aus bin Shamit, suami Khaulah bin Tsa’labah.
Ungkapan tersebut sebagai bentuk ketidaksukaan Aus bin Shamit terhadap istrinya tersebut. Namun kemudian, Aus menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada istrinya.
Khaulah pun menyampaikan masalah ini kepada Rasulullah SAW, dan turunlah ayat 1-4 surah Al-Mujadalah yang menegaskan, perbuatan tersebut (menuduh istri sama dengan ibunya), dilarang dalam Islam.
Namun, bila suaminya menyesali perbuatannya dan bermaksud kembali kepada istrinya, maka dia wajib memerdekakan seorang budak (hamba sahaya), atau berpuasa, atau memberi makan fakir miskin. Itulah hukum Allah bagi orang-orang yang beriman.
Peristiwa yang terjadi 14 abad silam itu, hingga kini masih sering terdengar. Tentu saja, dalam konteks yang berbeda pula. Ada yang dimaksudkan sebagai ungkapan ketidaksenangannya terhadap istrinya dan dia menginginkan perceraian. Namun adapula yang bermaksud sebagai pujian atas kecantikan istrinya, yang kecantikannya itu mirip dengan ibunya.
Misalnya, “Wahai istriku, kecantikanmu sangat menawan. Rambutmu hitam dan panjang, bagaikan bidadari dari kahyangan. Kecantikanmu mengingatkanku pada kecantikan ibuku.”
Bagaimanakah ungkapan seperti ini? Apakah ia sama dengan kasus yang dialami Khaulah bin Tsa’labah dan suaminya, yakni Aus bin Shamit, yang menyamakan istrinya dengan ibu kandungnya sehingga itu termasuk perkataan Zhihar?
Para ulama berbeda pendapat mengenai ungkapan tersebut. Ibnu Qayyim berkata, “Pada masa jahiliyah, zhihar dianggap sebagai talak, lalu dihapus dengan kedatangan Islam. Karenanya, hukum yang telah dihapuskan tidak boleh dilaksanakan. Aus bin Shamit pernah melakukan zhihar dengan niat talak, akan tetapi yang diberlakukan adalah zhihar, dan bukan talak. Di samping itu, zhihar memiliki hukum yang jelas. Oleh sebab itu, zhihar juga tidak dijadikan sindiran talak karena hukum zhihar untuk talak telah dibatalkan oleh syariat Allah."
Namun ada ulama yang berpendapat, kasus seperti Aus bin Shamit, hukumnya telah menyebabkan jatuh talak. Karena maksudnya untuk menceraikan sang istri. Kendati tidak ada pernyataan talak atau cerai seperti "Kamu aku talak. Kamu aku ceraikan.”
Dan ini merujuk pada hadits Rasulullah SAW yang memerintahkan Aus bin Shamit untuk membayar tebusan, yakni berpuasa, atau memerdekakan budak, atau memberi makan fakir miskin. (HR Abu Dawud). Hadits serupa juga diriwayatkan dari Aisyah.