REPUBLIKA.CO.ID, Dalam Kitab As-Sunan juga disebutkan, kisah yang dialami oleh Salamah bin Shakhr al-Bayadhi yang melakukan zhihar kepada istrinya selama bulan Ramadhan.
Dan sebelum Ramadhan berakhir, ia menggauli istrinya. Rasul pun memerintahkan Salamah supaya memerdekakan budak, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan fakir miskin.
Pada intinya, ulama mazhab yang empat (Syafi'i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) sepakat bahwa perbuatan zhihar adalah haram hukumnya. Karena perbuatan tersebut menyamakan istrinya dengan ibu kandungnya, maka dia haram menggauli istrinya itu, sebagaimana keharaman menggauli ibu kandung. Karena itu, dia wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memerdekakan budak, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.
Mayoritas ulama menyatakan, bahwa kasus zhihar hanya pada kasus ibu. Bila ungkapan serupa diungkapkan pada saudara perempuannya, maka hal itu tidak termasuk zhihar. Misalnya, “Engkau seperti punggung saudara perempuanku.”
Syekh Muhammad Al-Utsaimin dalam kitabnya, Shahih Fiqh an-Nisaa’, menyatakan zhihar maknanya tidak hanya terbatas pada pengertian punggung ibu kandung, tetapi apa saja yang menyerupakan istri dengan ibu kandung.
Mazhab Hanafi, Ats-Tsauri, Syafi'i dalam salah satu pendapatnya, dan Zaid bin Ali menyatakan, bahwa ibu mesti dikiaskan kepada semua perempuan yang menjadi muhrimnya (haram untuk dinikahi). Dalam pandangan mereka, zhihar adalah pernyataan seorang suami kepada istrinya. Dan tidak berlaku bila ungkapan itu dilakukan oleh seorang istri. Misalnya istrinya berkata, “Engkau (suamiku), bagiku bagaikan punggung ibuku.” Dalam kasus seperti ini tidak berlaku.
Bagaimana dengan kasus lain, misalnya memuji istrinya karena kecantikannya atau kealimannya. Dalam kasus ini, tiga Imam Mazhab seperti Hanafi, Syafi'i, dan Maliki, dalam riwayat Ahmad, ungkapan tersebut tidak bisa disamakan dengan zhihar. Sebab, tujuannya adalah untuk menghormati, memuliakan dan memuji istrinya. Misalnya, seorang suami berkata, “Kamu seperti saudara perempuanku atau seperti ibuku.”
Sementara itu, panggilan seorang suami kepada istrinya dengan sebutan ‘Ibu’, ‘ummi’, ‘mama’ atau sejenisnya, tidak bisa disamakan dengan zhihar. Sebab, mayoritas panggilan itu digunakan untuk mengajarkan anak-anaknya memanggil orang tuanya.
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 225). Wallahua’lam.