REPUBLIKA.CO.ID, BISHKEK--Pemerintah Kirgistan memperkenankan Rahat, 14 tahun, untuk mengenakan jilbab. Namun, Rahat punya pemikiran lain. Ia lebih memilih keluar dari sekolah.
Apa yang dialami Rahat, juga dialami Muslimah lainnya. Kondisi itu merupakan dampak dari larangan menghadiri kelas atau ruang kuliah dengan mengenakan Jilbab yang diberlakukan pemerintah Kirgistan September tahun lalu.
Pemberlakukan aturan itu menyebabkan banyak pelajar dan mahasiswa yang terpaksa melepaskan jilbab atau lebih memilih keluar kampus ketimbang harus melepas jilbab mereka. Dari dua pilihan itu, mereka lebih banyak memilih untuk keluar dari kampus atau sekolah.
"Saya tahu betul, banyak pelajar seperti saya yang dilarang datang ke sekolah karena berjilbab. Namun, saya lebih memilih berhenti sekolah," kata Rahat seperti dikutip onislam.net, Senin (27/2).
Yang memprihatinkan, larangan itu segera melahirkan tekanan hingga kekerasan kepada mereka yang mengenakan jilbab. Setiap tahun ajaran baru, tak terhitung berapa jumlah mahasiswi dan siswi yang mengalami pengucilan dari lingkungan sekolah dan kampus lantaran jilbab.
Pihak kampus dan sekolah berdalih hanya melaksanakan apa yang telah diputuskan pemerintah. Meski sebenarnya, pihak kampus atau sekolah dapat menolak aturan itu. Namun, mereka lebih memilih untuk mengikuti pemerintah.
Ironis memang. Apalagi Islam tengah berkembang selepas negara ini melepaskan diri dari Uni Soviet. Namun pemerintah memiliki kecemasan berlebihan bahwa perkembangan Islam menjadikan negara mereka sebagai negara Islam.
Kalangan advokat menilai, larangan jilbab adalah serangan terhadap kebebasan beragama. Mereka berpendapat, jilbab dalah kode wajib berpakaian bukan simbol agama yang menampilkan afiliasi seseorang.
Pada tahun 2009, Presiden Kurmanbek Bakiyev menandatangani undang-undang melarang dakwah, pendidikan agama swasta dan impor atau penyebaran literatur keagamaan. Undang-undang juga mengharuskan semua komunitas agama untuk mendaftarkan diri organisasi mereka pada negara.