REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (28/2), menjatuhkan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 4 bulan penjara kepada terdakwa Syarifuddin. Si terdakwa ialah hakim non-aktif Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang terlibat kasus suap PT Sky Camping Indonesia.
Putusan majelis hakim itu jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara.
Menurut Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PuSAKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, putusan hakim Pengadilan Tipikor menjadi gambaran umum mengenai tidak berpihaknya aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi di ranah yudisial. Ada dugaan, putusan majelis hakim itu merupakan bentuk solidaritas antar sesama penegak hukum.
"Dugaan itu pasti ada. Hakim memvonis hakim yang bermasalah ada indikasi solidaritasnya," kata Feri saat dihubungi Republika, Selasa (28/2). Menurut dia, putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor kepada hakim non aktif Syarifuddin sama sekali tidak menimbulkan efek jera kepada para koruptor.
Sehingga, mereka tidak akan takut lagi untuk menggerogoti keuangan negara karena mereka tahu bahwa hukuman yang akan diberikan tidak akan berat. "Padahal korupsi itu kan termasuk kategori kejahatan luar biasa," kata Feri.
Selain dari sisi hakimnya, Feri juga menilai ada kelemahan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, kebanyakan jaksa menuntut seorang terdakwa dengan tuntutan yang tinggi, namun tidak didukung oleh pencarian alat-alat bukti. "Akhirnya tuntutan jaksa menjadi tidak berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi," kata Feri.