REPUBLIKA.CO.ID, Perjalanan manusia di dunia ini bisa dikelompokkan dalam empat tahap; yang inderawi, eksperimental, instingtif dan rasional.
Dalam tahap yang pertama ia seperti seekor rayap yang, meskipun memiliki penglihatan, tak punya kemampuan mengingat dan akan menghapuskan dirinya terus-menerus pada lilin yang sama.
Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul. Pada tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif, terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau srigala—musuh-musuh alaminya—sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor unta atau kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya.
Di dalam tahap yang keempat, manusia sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu sehingga mampu—sampai batas tertentu—meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan. Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan dengan berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut dengan sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat—ketika ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat—berjalan di atas air. Sementara itu, di balik dataran ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi, manusia punya kemampuan untuk ada pada berbagai dataran yang berbeda, mulai dari dataran hewaniah sampai dataran malaikat. Dan persis dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran yang paling rendah. Di dalam Alquran tertulis, "Telah Kami tawarkan (yaitu tanggung jawab atau kehendak bebas) kepada lelangit dan bumi serta gunung-gunung; mereka menolak untuk menanggungnya. Tetapi manusia mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh."
Tidak hewan tidak pula malaikat bisa mengubah tingkat dan tempat ia ditempatkan. Tetapi seseorang bisa tenggelamke dataran hewaniah atau terbang ke dataran malaikat, dan inilah arti dari "penanggungan beban" sebagaimana disebutkan oleh Alquran di atas. Sebagian besar manusia memilih untuk berada di dua tahap terendah tersebut, dan yang tetap tinggal biasanya selalu bersikap bermusuhan dengan orang yang bepergian atau musafir yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Banyak orang dari kelas yang disebut terdahulu, karena tidak memiliki keyakinan yang teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu inderawi, menolaknya sama sekali. Mereka berkata bahwa neraka adalah suatu temuan para ahli ilmu kalam belaka untuk menakut-nakuti orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan terbuka.
Berdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya. Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung. "Benarkah anda sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya, benar?"
Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin—sebagaimana saya yakin bahwa dua lebih besar daripada satu—bahwasanya jiwa dan kehidupan masa depan dalam bentuk kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada, maka manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Yang bisa diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata Alquran, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."