REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang memvonis rendah dan tidak mengabulkan pembuktian terbalik terhadap harta milik terdakwa hakim suap, Syarifuddin. Sejumlah pihak meragukan majelis hakim Tipikor mengabulkan banding dari KPK tersebut.
"Pesimis ya jika melihat hakim di Indonesia," kata Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang Universitas Trisakti Yenti Ganarsih saat dihubungi Republika, Rabu (29/2).
Menurut Yenti, seharusnya majelis hakim mengabulkan tuntutan dan banding dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta Syarifuddin untuk menjelaskan asal muasal harta kekayaannya. Namun, melihat 'unsur solidaritas' sesama hakim, Yenti pesimis dengan hal tersebut.
Sekretaris Jenderal Transparancy International Indonesia (TII) Teten Masduki mengatakan majelis hakim seharusnya mendukung pula upaya KPK dalam melakukan pembuktian terbalik terhadap harta kekayaan milik terdakwa korupsi. Di negara-negara maju yang berhasil memberantas korupsi, pembuktian terbalik menjadi cara yang paling ampuh untuk menekan tindak pidana korupsi. "Majelis hakim harus melakukan gebrakan juga dong," kata Teten.
Teten menyarankan, agar JPU KPK dalam melakukan banding, mengumpulkan bukti-bukti pendukung bahwa uang milik Syarifuddin berasal dari sesuatu yang tidak wajar. Dengan upaya itu, diharapkan majelis hakim bisa mengabulkan tuntutan mereka.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (28/2), menolak tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta terdakwa Hakim Syarifuddin untuk melakukan pembuktian terbalik terhadap mata uang asing yang ditemukan saat penggeledahan dirumah terdakwa, di Komplek Kehakiman,Sunter Jakarta Utara. Majelis pun memutuskan uang asing yang disita itu dikembalikan kepada Syarifuddin.