REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah harus segera mengambil keputusan terkait harga BBM. Keputusan yang berlarut-larut, menurut anggota Komisi V DPR, M Arwani Thomafi, akan merugikan rakyat. "Pemerintah harus berani mengambil kebijakan tidak populis, tapi untuk kepentingan jangka panjang," katanya melalui pesan singkat, Rabu (29/2) malam.
Menurutnya, pemerintah bisa melihat, apakah opsi kenaikan harga BBM yang terjangkau oleh masyarakat (Rp 1.500) atau dengan penambahan subsidi sebesar Rp 2.000 per liter. Dengan kenaikan harga BBM, misalnya Rp 1.000, lanjutnya, akan menghemat sekitar Rp 21 triliun beban subsdi. Sedangkan jika dinaikkan Rp 1.500 bisa menghemat sekitar Rp 45 triliun.
Pihaknya mengamati soal naik-turunnya harga BBM selama ini. Jika kembali ke belakang, ketika pemerintah dua kali menurunkan harga BBM, sambung Arwani, diduga konteksnya lebih pada pencitraan menjelang pemilu. Terbukti setelah pemilu, opsi penurunan harga BBM itu justru menjadi bumerang. Pemerintah terlalu berani mengambil risiko penurunan harga BBM dengan alasan harga minyak turun. Padahal, kata dia, harga minyak dunia dalam lima tahun belum tentu stabil.
Hal itu juga bisa dibuktikan kali ini, yaitu dua tahun harga BBM turun, namun harga minyak dunia kembali melonjak. "Kita akhirnya kelimpungan untuk penyesuaian itu."
Selain itu, lanjutnya, pemerintah harus memberikan kompensasi kenaikan BBM untuk peningkatan ekonomi rakyat dan perbaikan kualitas SDM. Kompensasi model BLT (bantuan langsung tunai) yang pernah diterapkan beberapa tahun lalu tidak efektif, karena sama saja mendidik mental masyarakat menjadi pengemis.
Untuk itu, dia mengusulkan agar pemerintah memberikan 'kail' bukan 'ikan', sehingga masyarakat bisa kreatif. Kompenasasi kenaikan BBM, bisa untuk perbaikan infrastruktur maupun beasiswa pendidikan bagi kalangan tidak mampu. "Itu lebih mendidik dibanding merangsang orang menjadi pengemis."