REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bayu Kuncahyo/Antara
Timnas Indonesia saja baru saja memecahkan rekor yang tertahan sejak 38 tahun lalu tepatnya tahun 1974 dan rekor itu pecah bukan di kandang sendiri, namun di Stadion Nasional Manama, Bahrain, Rabu malam (29/2).
Memecahkan rekor seharusnya mendapatkan pujian dan sanjungan dari masyarakat maupun stake holder bahkan bisa masuk Museum Rekor Indonesia (MURI), namun berbeda dengan yang satu ini. Hasil Timnas Garuda dinilai mengecewakan.
Memang bukan tanpa alasan. Timnas yang selama ini disanjung-sanjung dan dinilai yang terbaik saat ini oleh PSSI harus menerima pil pahit dengan digelontor 10 gol tanpa balas oleh Bahrain dipertandingan terakhir Grup E PPD 2014.
Dengan kekalahan ini, Indonesia yang dilatih oleh Aji Santoso menjadi juru kunci di Grup E dengan nol poin dari enam pertandingan. Yang lebih memilukan lagi, selama turun di PPD 2014 baik kandang maupun kadang, Timnas Garuda hanya mampu menciptakan tiga gol dan 26 gol kemasukan.
Hasil kurang maksimal yang diraih Timnas Garuda sangat dirasakan oleh dua punggawa klub Semen Padang yaitu Ferdinan Sinaga dan Abdul Rahman. Dalam akun twitter-nya (bomber Semen Padang itu menulis "Maaf telah membuat malu Indonesia dalam game tadi..kami hanya berusaha semaksimal yang kami punya..jangan menghujat kami yang sudah berusaha".
Begitu juga dengan Abdul Rahman. Pemain yang juga dari klub Semen Padang mengakui jika Indonesia kalah kelas dibandingkan dengan Bahrain. Kondisi ini ditambah dengan kepemimpinan wasit yang dinilai banyak menguntungkan tuan rumah karena minimal harus menang 8-0 agar bisa lolos. Namun upaya itu gagal setelah Qatar melawan Iran berakhir imbang.
"Gitulah kalau 'dizholimi', yang di atas pasti melihat. Tapi terlepas dari penyebab kekalahan gak usah kita jadikan alasan. Kita harus secepatnya berbenah kalau ingin berbuat lebih baik," kata Abdul Rahman melalui pesan singkat.
Meski banyak yang kecewa, warga Indonesia tidak boleh langsung menghakimi pemain dan pelatih yang telah berjuang sekuat tenaga dalam membela bangsa dan negara. Pemain dan pelatih hanyalah aktor di lapangan. Yang perlu disorot saat ini adalah peranan pemangku kepentingan sepak bola Indonesia dalm hal ini PSSI.
Tim baru
Timnas Garuda sebelum menjalani pertandingan terakhir PPD 2014 melawan Bahrain dihadapkan dengan permasalahan yang cukup pelik. Kenapa tidak. Mayoritas pemain yang turun di PPD sebelum dilarang bermain oleh PSSI karena telah diberi sanksi setelah turun dikompetisi yang dinilai ilegal.
Kondisi ini jelas membuat Aji Santoso yang ditunjuk oleh PSSI untuk menggantikan Wim Rijsbergen kelabakan. Dengan waktu singkat, pria asal Malang ini harus mampu membangun tim dan ditargetkan harus mapu mencuri poin.
Aji langsung bergerak cepat yang salah satunya menyeleksi pemain yang berlaga dikompetisi yang diakui oleh PSSI yaitu Indonesia Premier League (IPL). Ada delapan pemain yang didapat dan langsung dengan pemain yang telah lolos seleksi karena pernah turun di PPD maupun SEA Games 2011 lalu.
Salah satu pemain yang kembali masuk skuad timnas adalah Irfan Bachdim. Pemain yang bermain cemerlang saat Piala AFF 2010 ini kembali masuk tim inti setelah terbebas dari sanksi yang diberikan oleh PSSI. Namun kembalinya pemain keturunan Indonesia-8elanda itu belum mampu memberikan yang terbaik.
"60 persen pemain yang ada minim jam terbang internasional. Tapi kami harus tetap bermain semaksimal mungkin," kata Aji Santoso sebelum berangkat ke kandang Bahrain.
Dengan rencana menurunkan tim baru, PSSI langsung mendapatkan keberatan dari Federasi Sepak Bola Qatar karena menilai Indonesia tidak menurunkan tim terbaiknya. Hanya saja keberatan itu ditanggapi dengan dingin oleh Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin. Pihaknya mengaku yang diturunkan melawan Bahrain adalah pemain terbaik yang ada saat ini.
Jika PSSI tetap menggunakan jasa pemain lama dan digabung dengan pemain baru bisa jadi keberatan itu tidak datang meski belum ada jaminan jika timnas bisa kalah tipis maupun mampu memenangkan pertandingan atas tuan rumah Bahrain.
Paling tidak Timnas Garuda mampu mengimbangi permainan anak asuh Peter Taylor itu. Terbukti pada pertandingan pertama di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta beberapa waktu lalu hanya kalah tipis 0 -2 dari Bahrain.
Dengan kondisi ini sebaiknya seluruh pemangku kepentingan atau stake holder sepak bola nasional bersatu. Tidak seperti yang terjadi saat ini. PSSI dengan anggota PSSI yang akhirnya membentuk Komite Penyelamat Sepak Bola Nasional (KPSI) bersitegang sehingga sedikit banyak berpengaruh kepada timnas maupun kompetisi.
Alangkah baiknya kekalahan telak timnas akan menjadi cambuk bagi PSSI maupun KPSI melakukan rekonsiliasi. Momen Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar KPSI dan Kongres Tahunan PSSI yang sama-sama digelar 18 Maret bisa dijadikan tonggak kebangkitan sepak bola nasional.
Jika kedua kubu ini terus berseberangan bisa dipastikan perkembangan sepak bola nasional akan terus terganggu. Konflik kepentingan seharusnya dibuang jauh-jauh agar cabang olah raga yang banyak digandrungi masyarakat ini bisa jauh lebih berprestasi.
Berdasarkan catatan rekor kekalahan terbanyak Timnas Indonesia yang ada, Tim Garuda terakhir kali terjadi pada tahun 1974 saat menghadapi tuan rumah Denmark. Sebetulnya timnas juga mengalami kekalahan yang cukup banyak, hanya saja tidak sampai 10 gol.
Indonesia pada Merdeka Games 1976 juga harus mengakui keunggulan Malaysia dengan skor 1-7. Malaysia juga menjadi momok bagi Timnas Garuda pada kualifikasi Olimpiade 1980, Indonesia harus kembali menyerah dengan skor 1-6.
Kekalahan telak juga terjadi di tahun 1991. Saat menjamu Mesir di Piala Presiden, tim tuan rumah harus menyerah 0-6. Tahun 2007 atau berselang 16 tahun, timnas juga kembali menelan pil pahit saat dihajar oleh tuan rumah Suriah, 0-7.
Kekalahan telak juga terjadi saat Indonesia dilatih oleh Alfred Riedl. Boas Salossa dan kawan-kawan harus menyerah dari Uruguay, 1-7 di Gelora Bung Karno Jakarta, 2010. Saat itu Uruguay diperkuat oleh Luiz Suarez dan Edinson Cavani. Dan yang paling menghebohkan adalah Timnas Garuda kalah telak dari Bahrain, 0-10 pada PPD 2014.