REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tindakan brutalisme yang dilakukan masyarakat terhadap anggota kepolisian ditengarai merupakan ekses dari tindakan serupa yang dicontohkan institusi kepolisian kepada masyarakat.
Sebut saja kasus Mesuji, Freeport dan Bima yang diduga melibatkan anggota kepolisian dalam aksi kekerasan kepada masyarakat sipil.
Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane, mengatakan polisi yang bertindak brutal akan menghadapi masyarakat sipil yang brutal pula. Akan tetapi, polisi yang bersikap persuasif dalam menangani sebuah kasus yang melibatkan masyarakat akan mendapat sambutan baik dari masyarakat.
Lebih lanjut, Neta menjelaskan, fenomena brutalisme yang dilakukan masyarakat kepada aparat kepolisian juga sebuah bentuk kekecewaan masyarakat atas layanan yang diberikan kepolisian. "Masyarakat semakin tidak percaya dengan kinerja yang dilakukan polisi," kata Neta, Senin (5/3).
Menurut Neta, polisi kerap bertindak arogan dalam menangani sejumlah kasus yang melibatkan masyarakat. Salah satu tindakan yang arogan adalah mempertunjukkan perilaku kekerasan dalam menyelesaikan masalah seperti yang terjadi di Freeport, Mesuji dan Bima.
Akibat perilaku itu, ungkap Neta, polisi pada akhirnya mendapat aksi balasan dari masyarakat. Sebagai contoh, adanya peningkatan angka perusakan kantor polisi oleh masyarakat. "Pada 2010, ada sekitar 15 kantor polisi yang dirusak dan dibakar. Jumlah itu meningkat empat kali lipat lebih pada 2011 dengan 65 kasus perusakan kantor polisi oleh masyarakat," paparnya.
Untuk mengatasi hal itu, institusi kepolisian harus mencetak polisi sipil yang profesional. Artinya, polisi harus menunjukkan sikap yang persuasif dalam penanganan kasus di tengah masyarakat. "Karena upaya kekerasan telah terbukti gagal dalam menekan atau pun mengancam masyarakat," tandas Neta.