REPUBLIKA.CO.ID,Asyik juga melihat DVD Sneakers di saat pertumbuhan dunia komputer dan gadget seperti sekarang ini. Film ini menarik, karena ketika diproduksi tahun 1991 termasuk maju di zamannya. Film ini memang film lama. Namun tak salah kalau kita mencoba me reminder kembali ingatan kita untuk melihat masa di tahun 90 an.
Terus terang, sebelum menyaksikan film ini, Anda pasti akan berfikir, film ini mempunyai kualitas diatas rata-rata. Apalagi para pemerannya, adalah aktor dan aktris yang memang mumpuni aktingnya. Robert Redford, Ben Kingsley, Sidney Poltier, Dan Aykroyd, River Phoenix (sudah almarhum) dan Mary McDonell, adalah nama yang menggoda pecandu film bermutu untuk menonton film yang mereka bintangi. Namun, setelah adegan film dibuka, baru terasa ngeh, bahwa film ini adalah film komedi yang menyoroti dunia komputer. Isyarat ini mulai terpampang di layar ketika nama-nama mereka dipasang secara jungkir balik dan seperti tergerogoti virus -virus software yang saat itu banyak sekali memangsa data-data komputer.
Ya, komputer. Di zaman yang saat itu masih kental sistem manualnya, masalah computerized ini bukanlah masalah biasa. Saat itu manusia masih berkhayal bahwa suatu saat semua urusan mereka akan diurus oleh benda amat pintar yang disebut komputer (dan ini terbukti sepuluh tahun kemudian).
Saat itu komputer menempati posisi amat potensial, dan bahkan pada taraf tertentu ditakuti mampu menggeser peran manusia.
Khayalan saat itu memang luar biasa. Dengan komputer, manusia bisa menyusun segunung sistem untuk melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Mau menghancurkan dunia sehingga menjadi rempah-rempah roti? Mau membuat dunia ini gelap bagai tanpa matahari? Mau mengalirkan sungai uang dari kantung-kantung bank? Jawabnya mudah saja; kuasailah sistem-sistem yang tersimpan dalam komptuer. Tema unik inilah yang disuguhkan film ini dengan semangat bandit gaya Robin Hood penuh banyolan konyol sekonyol-konyolnya.
Ceritanya sendiri sederhana. Seorang lelaki bernama Martin Bishop (diperankan Robert Redford) bersama teman-temannya punya niat untuk membobol bank hanya dengan mengutak-utik sistem komputer. Uang seisi bank amblas mereka pindahkan ke pundi-pundi lembaga sosial kemasyarakatan. Demi apa? Demi perdamaian dunia. Kekonyolan lain tampak padu ketika Bishop terjebak pada sebuah pintu yang terkunci secara elektronis. Untuk membukanya dia perlu kirim informasi kepada kawan-kawannya yang nongkrong jauh di suatu stasiun. Setelah mereka putar otak menganalisa data elektronis pintu itu, ternyata Bishop cuma memerlukan sebuah tendangan kaki untuk mendobraknya.
Lewat gaya penyajian yang menggelikan ini, Sneakers setidaknya mengajak penonton melihat dua persoalan manusia di zaman serba informasi saat itu. Rengkuhlah informasi sebanyak-banyaknya, tapi jangan teledor untuk menertawakan diri sendiri. Di satu pihak, melahap informasi adalah keniscayaan. Di lain pihak, menertawakan diri sendiri adalah metode paling segar agar manusia tidak kehilangan kemanusiaannya. Kecuali masalah kemanusiaan, selebihnya cuma basa basi belaka. Omong kosong yang sering digelembungkan agar tampak meyakinkan.
Di situlah, film ini sebenarnya tidak hanya meledek secara cerdas pada kecenderungan kita yang kadang suka berkerut kening terhadap berbagai masalah hidup yang sebenarnya sepele. Tapi, juga sekaligus melecehkan suguhan film yang serba berbau Amerika, yang serba modren, yang serba gagah, yang serba ngotot menjadi pahlawan seperti Rambo dan Rocky yang saat itu menjadi ikon heroiknya Amerika. Boleh dikata, film ini justru menelanjangi dirinya sebagai sesuatu yang bukan apa-apa, yang tidak istimewa, yang sekadar omong kosong.