REPUBLIKA.CO.ID, Banyak pro dan kontra menyikapi hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani yang bersumber dari Anas bin Malik di atas.
Ada yang menyatakan sahih (kuat dasarnya), namun tak sedikit yang menyatakan hadis tersebut dhaif (lemah).
Yang menyatakan sahih, karena diriwayatkan dari Anas bin Malik, seorang perawi hadits yang diakui keadilannya (tsiqah dan dhabith). Sementara yang menyatakan hadits tersebut dhaif, karena dalam sanadnya ada perawi yang meragukan, yakni Nubaith bin Umar, dan dikenal sering berdusta. Akibatnya, sejumlah ulama menyatakan hadits tersebut munkar (tertolak).
Imam Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath dan Imam Ahmad dalam Kitab Musnad, meriwayatkan hadits ini dari Abdurrahman bin Abi ar-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik RA, secara marfu’.
Thabrani berkata, “Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali Nubaith dan Abdurrahman bin Abi Ar-Rijal bersendiri dalam meriwayatkan dari Nubaith."
Syekh Nasiruddin Al-Albani dalam kitabnya, As-Shahihah, menyatakan hadits di atas juga dhaif. Menurut Al-Albani, Nubaith adalah seorang yang majhul. Karena itu, ia menolaknya.
Sementara itu, menurut beberapa ahli hadits, periwayatan hadits yang benar (sahih) adalah sebagai berikut. “Dari Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjamaah, dengan mendapatkan takbir pertama (takbiratul ihram), maka terlepas dari dua hal; terlepas dari kenifakan (munafik) dan neraka.” (HR Tirmidzi).
Berdasarkan hadits di atas, sesungguhnya yang dimaksudkan adalah shalat secara berjamaah setiap waktu, dan selalu mendapatkan takbir pertama.
Karena mengira besarnya pahala dalam mengerjakan shalat arbain (40 waktu) di Masjid Nabawi, maka pahalanya akan dilipatgandakan, banyak jamaah haji yang akhirnya hanya memokuskan shalat selama 40 waktu atau delapan hari di Madinah untuk shalat berjamaah di Masjid Nabawi.
Selebihnya, sebagian shalat di hotel, pemondokan atau lainnya. Terkadang mendirikan shalat sendirian, tanpa berjamaah. Tentu saja, hal ini tidak dibenarkan. Sebab, motivasinya hanya sekadar mengerjakan arbain.
Bahkan ada pula yang merasa sudah melaksanakan shalat arbain dengan ganjaran setiap shalat 1.000 kali, hingga bila dijumlahkan mencapai 40 ribu kali, maka mereka enggan mendirikan shalat sekembalinya ke Tanah air.
Begitupula mereka yang sudah mendirikan shalat lima waktu di Masjidil Haram dengan ganjaran pahala 100 ribu kali, maka saat kembali ke kampung halaman, mereka enggan mendirikannya lagi.
Inilah yang dilarang dalam Islam. Sebab, shalat bukan untuk mencari pahala, melainkan keridhaan Allah sebagai bentuk pengabdian seorang hamba kepada Sang Pencipta. Dan shalat lima waktu diwajibkan atas setiap pribadi umat Islam. Wallahua’lam.