REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kemenangan pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) soal pengetatan remisi terhadap terpidana korupsi dan teroris sudah bisa diduga sebelumnya. Ini lantaran kebijakan yang tertuang dalam SK Menteri Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 Tahun 2011 tersebut bertentangan dengan undang-undang dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
“Pemerintah harus taat dengan putusan pengadilan, jangan membangkang hanya karena kebodohan saja,” sebut Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar di gedung MK, Kamis (8/3). Menurut Akil, persoalan dalam kasus ini sebenarnya bukan terkait pro dan kontra terhadap pengetatan remisi terhadap koruptor maupun teroris. Kekalahan pihak pemerintah disebabkan pejabatnya tidak profesional dalam menerapkan kebijakan.
Pasalnya tujuh narapidana korupsi yang seharusnya mendapat kebebasan itu malah harus mendekam di penjara gara-gara aturan seenaknya yang dibuat Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Amir Syamsuddin dan Wakil Menkumham Denny Indrayana. “Ini kesalahan besar sebab tidak ada aturan yang bersifat retroaktif. Orang yang seharusnya bebas kok tidak jadi keluar tahanan gara-gara aturan yang baru,” cetus Akil.
Dia melanjutkan, sebuah kebijakan dibuat jangan sampai melanggar hak asasi manusia. Meski seseorang itu berstatus narapidana, kalau memang memiliki hak mendapat remisi maka yang bersangkutan wajib mendapatkannya. Karena itu, pihaknya berharap ke depannya pihak pemerintah dalam membuat kebijakan jangan seenaknya sendiri dan melanggar rambu-rambu ketentuan yang sudah ada. “Jangan merasa sok kuasa ketika berada dalam pemerintahan.