REPUBLIKA.CO.ID, Dengan puisi aku bernyanyi Sampai senja umurku nanti
Demikian penggalan lirik karya sastrawan, Taufiq Ismail, yang dinyanyikan kelompok Bimbo. Tampaknya ungkapan itu menuai kenyataan, karena hingga saat ini menjelang 50 tahun Bimbo meniti karier musik,
mereka tetap konsisten di jalur musik.
Bimbo yang terdiri dari Drs Samsudin Hardjakusumah (Sam), Darmawan Hardjakusumah, SH (Acil), Jaka Purnama Hardjakusumah, SE (Jaka) dan Parlina Hardjakusumah (Iin) adalah fenomena tersendiri dalam industri musik negeri ini. Bimbo menghasilkan musik yang variatif, mulai dari pop
hingga kasidah.
Sastrawan Ramadhan KH (almarhum) menyebut musik Bimbo bagaikan musik Mozart dan menyusup ke jantung hati seperti Cianjuran. Dan, rasanya di wilayah sebatas itu, kata Ramadhan KH, Bimbo berada dengan berulang kali menancapkan noktah yang cukup berarti, tanda-tanda yang dimilikinya
secara khas.
Salah satu fenomena yang tertoreh dari Bimbo adalah bergaungnya repertoar religius Bimbo di sepanjang bulan suci Ramadhan. Harian Republika 12 Januari 1997 menulis : ''Bulan Ramadhan adalah bulan
Bimbo. Ini tidak berlebihan; buktikan saja! Lagu yang paling merajai selama bulan suci adalah lagu kasidah. Tampaknya hal ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa pada bulan tersebut lagu-lagu kasidah karya
mereka sering bergema dalam berbagai kesempatan; seakan-akan sudah menjadi semacam lagu wajib.
Sayup-sayup suara bariton Acil berkumandang dari radio, televisi, bahkan
menyeruak di mal-mal :
Bertaburan nikmat karunia Illahi
Sepanjang bulan Ramadhan
Dan malam seribu bulan
Selamat datang, hai Ramadhan!
Maka lengkaplah misi Bimbo sebagai penyampai pesan dalam medium musik. Bimbo menyampaikan pesan dalam beragam dimensi. Mulai dari romantika asmara, sisi-sisi kehidupan, kritik sosial hingga ke wilayah religius. Dengan berderet-deret karya dalam kurun waktu 40 tahun, Bimbo tidak
sekadar tampil sebagai penghibur belaka. Musikolog, Franky Raden, seperti yang dikutip majalah Ummat edisi 19 Februari 1996, menyebut fenomena Bimbo yang paling menarik adalah dalam hal mentransformasikan
nilai-nilai religius melalui musik pop.
Bimbo mulai menapak belantara musik Indonesia pada awal tahun 1967 ketika tampil untuk pertamakali di layar TVRI dengan nama Trio Bimbo mendekap gitar akustik membawakan repertoar Latin seperti Besame Mucho karya Consuelo Velazquez hingga /Malaguenna Salerosa/ karya Elpido Ramirez.
Nama Bimbo diberikan oleh Hamid Gruno dari TVRI ketika tiga lelaki bersaudara asal Bandung, Jawaba Barat, ini, kebingungan mencari nama kelompoknya untuk penampilan perdana di TVRI. Harmonisasi vokal Bimbo
memang khas dan punya karakter kuat. Inilah sebetulnya yang merupakan kekuatan Bimbo menembus industri musik.
Adalah John Patirane, seniman vokal Bandung yang membimbing Bimbo dalam menata harmoni vokal. Di pertengahan era 1970-an, Bimbo mengaku banyak terpengaruh dengan harmoni vokal dari grup rock Inggeris, Queen. Bahkan saking kuatnya pengaruh Queen, tanpa sadar lagu Di Atas Jembatan
Semanggi (1975) memiripi kesamaan dengan sebuah verse dari Bohemian Rhapsody-nya Queen.
Di tahun 1969 Bimbo menyodorkan beberapa contoh lagu karya Iwan Abdurahman seperti Melati dari Jayagiri dan Flamboyan ke Remaco, perusahaan rekaman yang dipimpin Eugene Timothy, namun ditolak dengan
alasan tak memiki nilai komersial.
Patut diakui struktur melodi yang ditawarkan Bimbo memang agak berat dengan akor yang lebih luas dan banyak bermain pada minor key. Tapi, kelak justeru karya-karya semacam itulah komposisi yang tak sekadar
menggunakan akor tiga jurus, yang mengangkat prestise Bimbo.
Setahun berselang Bimbo ditawari rekaman di perusahaan rekaman Polydor Singapore. Di album debutnya ini, Trio Bimbo bersama dukungan musik dari Maryono, peniup saxophone jazz asal Surabaya, menyanyikan enam lagu berbahasa Indonesia yaitu Pinang Muda, Melati dari Jayagiri, Berpisah, Flamboyan, Manis dan Sayang, dan Pengembara.
Sebahagian besar merupakan karya Iwan Abdurahman dan Tonny Koeswoyo dari Koes Plus. Selebihnya adalah lagu-lagu hits mancanegara seperti Light My Fire (The Doors), Once There Was A Love (Jose Feliciano),
Cecilia, El Condor Pasa (Simon & Garfunkel), dan 2 lagu karya Jimmy Webb, I Have Dreamed dan Wichita Lineman.
Piringan hitam produksi Polydor itu akhirnya menyelusup juga ke Indonesia melalui distribusi yang dilakukan Remaco. ''Seingat saya jumlahnya sekitar 100 keping'' ungkap Sam. Pada bagian belakang sampul
piringan hitam tersebut, Trio Bimbo menulis sebuah liner note : ''Menyanyi adalah media seni yang paling cepat menyentuh perasaan seseorang. Tanpa melalui kata-kata, seseorang bisa dibawa hanyut.''
Kehadiran album ini memang memberi guratan warna baru dalam konstelasi musik pop Indonesia, meskipun secara komersial Trio Bimbo belum bisa disejajarkan dengan Koes Plus yang telah menangguk sukses. Akhirnya, Remaco merilis album Trio Bimbo di awal tahun 1970-an yang berisikan karya-karya Iwan Abdurahman seperti Balada Seorang Kelana dan Angin November. Juga ada Sunyi karya A Riyanto (Favorite's Group dan Empat Nada) maupun Bunga Sedap Malam karya Koeswandi (One Dee and Lady Faces).
Penulis: Denny Sakrie/Komunitas Pecinta Musik Indonesia