REPUBLIKA.CO.ID, SAN DIEGO - Kampanye media sosial menentang pemimpin pemberontakan pembunuh ikut menyita perhatian selebriti seperti Justin Bieber, Rihanna dan Kim Kardashian berikut fans besar di belakang mereka.
Namun, ketika jutaan di penjuru dunia menunjukkan dukungan kampanye dengan akun Twitter, #kony2012, yang menyerukan penangkapan pemimpin pemberontak Uganda, Joseph Kony, sebagian lain menyuarakan keprihatinan terhadap motif grup pengusung kampanye, Invisible Children dan keabsahan muatan yang mereka kabarkan ke dunia.
Semua dimulai beberapa hari lalu, tepatnya 5 Maret di AS, ketika film emosional tentang Kony, diproduksi oleh Invisible Children ditayangkan online dan dengan cepat mewabah. Tak lama, seruan utnuk 'membuat Kony terkenal'--agar ia bisa ditahan--mulai menggema di media sosial, dengan beberapa selebriti mengaitkan video itu ke jutaan followernya.
Gerakan itu juga merambah negara-negara lain, salah satunya Australia, di mana anak-anak sekolah ikut bagian dalam "Global the Night" untuk meningkatkan kesadaran terhadap keberadaan Kony, pemimpin Lord's Resistance Army (LRA), milisi sekte yang dituduh melakukan pembunuhan puluhan ribu warga dan menangkapi anak-anak untuk dijadikan tentara dan budak seks.
Namun, sejalan dengan peningkatan kesadaran publik, kian bertambah pula pertanyaan terhadap motif kampanye dan lembaga pengusungnya, Invisible Children yang menyoroti betapa kompleks gerakan anti-Kony sebenarnya.
Salah satu kritikan muncul dari blog Tumbler yang dtulis oleh mahasiswa ilmu politik Kanada, Grant Oyston. Pandangannya yang berseberangan sejauh ini mendapat perhatian terbesar. Dalam blognya ia memuat tautan ke lembaga pemantau yayasan amal independent, Charity Navigator. Lembaga itu menempatkan Invisble Children di peringkat rata-rata dalam soal transparasi dan akuntabilitas.
Banyak pengguna internet kini mempertanyakan upaya penggalangan dana yang dilakukan Invisible Children, jumlah uang yang dikumpulkan dan yang didedikasikan, dan kemana sebenarnya uang-uang itu digunakan.
Oyston juga menyebut Invisible Childre sebenarnya juga mendukung campur tangan militer dan menautkan tulisannya dengan foto pendiri grup memegang senjata dan berpose bersama anggota Tentara Pembebasan Rakyat Sudan.
Fotografer Amerika yang mengambil foto itu, Glenna Gordon, menulis, bahwa ia 'merasa tak nyaman' ketika mengambil foto pendiri Invisible Children--Jason Russel, Bobby Bailey dan Laren Poole--di perbatasan Sudan-Kongo pada April, 2008 silam.
"Beberapa saat kemudian saya bersama kolega saya mencoba mempublikasikan kisah mengenai apa yang kami saksikan mengingat kerja mereka meragukan dan patut dipertanyakan. Namun kami tak mendapat kesempatan publikasi yang menggigit." ujarnya.
"Kini mungkin agak sedikit berbeda, pada akhirnya saya berharap semua ini bisa membuat kita melihat Invisible Childern lebih jernih dan lebih kritis," ujarnya.
Peneliti pertahanan, dari King's College, Jack McDonald, juga memperingatkan dalam artikel yang telah direspon luas mengenai dampak kampanye tersebut, termasuk mendorong Kony melewati perbatasan dan risiko senjata yang dimiliki milisi LRA jatuh ke tangan yang salah di bagian lain Afrika.
"Betul, Kony layak diborgol dan diseret di depan Pengadilan Kriminal Internasional. Namun meningkatkan kesadaran publik mengenai profil brutal dari kejahatan pria ini sangat luar biasa. Gagasan bahwa opini publik lewat marketing mewabah dapat menjadi posisi tawar untuk mendatangkan campur tangan militer asing, benar-benar berbahaya," ujar McDonald.
"Ini sungguh tak bermoral mencoba dan menjual visi intervensi asing yang mengabaikan fakta bahwa rakyat bisa terbunuh sebagai konsekuensinya. Ini berlaku untuk politisi sekaligus Jason Russle (sutradara)."
Banyak blogs termasuk milik Washington Post, yang juga menautkan artikel di Forreign Affair, mengenai Invisible Childre dan badan-badan lain yang berbunyi," Dalam kampanye mereka, organisasi macam ini kerap memanipulasi fakta-fakta untuk tujuan strategis, melebih-lebihkan skala penculikan LRA dan pembunuhan serta menitikberatkan pada praktek tentara anak yang digunakan LRA,"
"Namun mereka jarang menyebut kejahatan pemimpin dan tentara Uganda sendiri terhadap rakyat Sudan, seperti serangan terhadap rakyat sipil, penjarahan terhadap rumah-rumah dan usaha warga sipil atau politik regional rumit yang menyulut konflik."
Sementara yang lain menanyakan mengapa Joseph Kony yang diincar, sementara banyak diktator dan pembunuh lain yang kian liar bergerak, terutama di Afrika, selama berdekade.
Harian Inggris, Guardian, juga melaporkan bahwa kritik terarah pada seruan kampanye terhadap publik agar AS tetap melanjutkan kerjasama dengan militer Uganda, lembaga yang juga memiliki catatan kekerasan tidak sedikit.
"Hingga kini tentara Uganda terus melakukan kekerasan terhadap rakyat didorong motif politik," ujar peneliti utama dari Human Right Watch, Maria Burnett, yang bertugas di Divisi Afrika.
"Kami memiliki berbagai kasus terdokumentasi di mana mereka terlibat dalam penyiksaan dan penahanan tanpa pengadilan dan juga sejumlah pembunuhan terhadap pemrotes tak bersenjata dan pengikut demonstrasi dalam unjuk rasa politik selama tiga tahun terakhir." ujarnya.
Menanggapi itu, salah satu anggota Invisble Children, Jedidiah Jenkins, kepada Washington Post menyebut semua kritik begitu sempit. "Ada banyak yang bisa dilakukan pembuat kebijakan dan juga yayasan," ujarnya. "Film ini telah meraih kesadaran global di mana orang-orang kini tahu siapa Kony dan kejahatan yang ia lakukan."
"Anak-anak mengetahui dan merespon. Mereka juga tak akan mengizinkan itu terjadi lagi."