REPUBLIKA.CO.ID, Seorang purnawirawan jenderal Angkatan Udara Amerika Serikat (AS), Dave Deptula, menyatakan bahwa Tel Aviv tidak memiliki perlengkapan militer yang memadai, termasuk pesawat tempur yang proporsional untuk menyerang situs nuklir Iran, di saat para pejabat Israel menebar retorika perang melawan Iran
Deptula kepada US National Public Radio (NPR) Sabtu (10/3) mengatakan, meski pesawat tempur Israel berhasil menghancurkan situs nuklir Irak pada 1981 lalu dan Suriah pada 2007, akan tetapi Iran merupakan tantangan militer lebih sulit yang mencakup puluhan target potensial.
Ditambahkannya bahwa Israel "bukan hanya tidak memiliki pesawat pesawat tempur yang proporsional" untuk menyerang Iran. "Ada masalah kapasitas. Jumlah target yang balasannya akan relatif besar," tutur Deptula.
Lebih lanjut dijelaskannya, bahkan untuk AS saja, segala bentuk serangan udara terhadap Iran akan berubah menjadi operasi militer berkepanjangan dan rumit.
Menurutnya, serangan udara ke Iran tidak seperti "berjalan-jalan di taman". Melainkan memperlukan rangkaian serangan yang berdurasi selama beberapa pekan terhadap berbagai target.
Purnawirawan Jenderal AS ini menyoal tujuan dari serangan udara dan pemboman terhadap instalasi nuklir Iran oleh rezim Zionis Israel. Jika bertujuan menghentikan program nuklir Iran untuk selamanya, menurut Deptula diperlukan lebih dari hanya serangan udara.
Sebelumnya, Dan Goure, analis pertahanan dari Lexington Institute, mengatakan kepada NPR bahwa kemungkinan serangan udara Israel hanya mampu menangguhkan program nuklir Iran tidak lebih dari satu atau dua tahun.
Ditambahkannya, "Israel bisa saja memiliki angkatan udara yang canggih, tapi bukan tipe yang diperlukan untuk menghancurkan program nuklir Iran .... Mereka tidak memiliki pesawat yang dapat membawa bom berdaya ledak besar".
Menurut Goure, pesawat Israel hanya dapat membawa bom berbobot maksimal 2.000 pound. Dan hanya Amerika memiliki pesawat yang dapat membawa bom berbobot 30 ribu pound yang dirancang khusus untuk menghancurkan segala bentuk fasilitas bawah tanah.
Dalam beberapa bulan terakhir, AS dan Israel meningkat retorika perang terhadap Iran dan mengklaim terjadi penyimpangan dalam program energi nuklir Tehran yang mengacu pada produksi senjata destruksi massal.
Adapun Republik Islam membantah klaim tersebut dan menegaskan bahwa sebagai anggota Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan penandatangan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT), Tehran berhak mendayagunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai.