REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menilai zona satu waktu Indonesia menimbulkan inefisiensi. Terutama terkait penetapan waktu shalat.
“Menjadikan Indonesia menjadi satu zona waktu, disamping berdampak positif mempersatukan, ada juga dampak negatif berupa potensi inefisiensi,” terang peneliti LAPAN Thomas Jalaluddin, Ahad (11/3).
Fakta tersebut telah diungkapkannya saat diundang menjadi salah satu narasumber FGD (Focus Group Discussion) tentang zona waktu Indonesia bersama kementerian terkait medio Januari 2012 lalu. Thomas mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat dengan kebutuhan ketepatan waktu dalam ritual ibadah.
Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim yang harus melaksanakan kewajiban shalat dzuhur menjadi pertimbangan. Selama ini, Indonesia menerapkan zona waktu tunggal dengan rujukan UT + 8 jam. Sementara waktu istirahat pukul 12.00-13.00 di Jawa bagian Barat dan Sumatera. Sebaran penduduk Indonesia sekitar 40 persen di kedua pulau tersebut.
“Pada akhir waktu istirahat pegawai Muslim masih melaksanakan shalat dzuhur. Artinya ada inefisiensi waktu dengan jeda untuk shalat, yang biasanya bersamaan dengan istirahat makan siang,”papar Thomas.
Padahal di negara Malaysia dan Singapura waktu istirahatnya diatur pukul 13.00-14.00 waktu setempat. Hal itu dilakukan agar waktu shalat dzuhur masuk pada jam istirahat itu. Jika Indonesia kemudian meniru menerapkan istirahat pukul 13.00-14.00, maka penduduk Papua sudah jauh melewati tengah hari. Thomas pun melihat itu berpotensi inefisiensi juga karena banyak pegawai yang mengambil waktu makan siang sebelum waktu istirahat.