REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang memiliki pelampung pendeteksi perubahan cuaca (buoy). Hal ini dikatakan peneliti utama badan pengkajian dan penerapan teknologi (BPPT), Fadly Syamsudin. "Selama ini yang memiliki teknologi ini adalah Amerika dan Jepang," katanya, Senin (12/3).
Amerika memiliki National Oceanography and Atmospheric Agency (NOAA). NOAA ditempatkan di samudera Pasifik tengah sampai timur. Sementara Jepang di Samudera Pasifik bagian barat, memiliki 15 buoy. "Indonesia menjadi negara ASEAN pertama," ujarnya.
Buoy ini mulai dioperasikan pada juni 2011 dan ditempatkan di utara Papua. Pelampung ini mendeteksi parameter cuaca seperti suhu, radiasi, kekuatan arus, dan kecepatan angin. Buoy bisa mendeteksi sampai sepuluh meter di atas permukaan, dan 500 meter di bawah permukaan laut. Saat ini Indonesia baru memiliki satu buoy.
Alat dan teknologi ini, kata dia, diharapkan bisa memberi informasi detail tentang perubahan cuaca di laut. Fadli mengatakan, perubahan cuaca di laut berefek pada daratan. "Misalnya badai. Walaupun terjadi di darat, didahului perubahan suhu di laut. Hal ini diakibatkan suhu permukaan laut tinggi. Sehingga tekanan permukaan menjadi rendah. Akibatnya terjadi aliran massa udara dari laut ke permukaan," ujarnya.
Laut di utara Papua juga memiliki kolom panas. Kolom ini memiliki luas sebesar Benua Australia dengan suhu 19 sampai 30 derajat. Kolom panas ini berpindah-pindah dan berpengaruh pada perubahan cuaca di lautan.
Dia mengatakan, keberadaan buoy diharapkan bisa memberi peringatan dini cuaca di laut. Sehingga perubahan sekecil apapun bisa cepat terdeteksi. Hal ini untuk mendukung pemberian peringatan dini adanya bencana (early warning system).