Jumat 16 Mar 2012 19:40 WIB

Kimia Kebahagiaan Al-Ghazali: Pemeriksaan Diri dan Dzikir Kepada Allah (4)

Dzikir kepada Allah (ilustrasi).
Foto: science.gc.ca
Dzikir kepada Allah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Abdullah bin Dinar meriwayatkan bahwa suatu kali ia berjalan bersama Khalifah Umar di dekat Makkah ketika bertemu seorang anak laki-laki penggembala sedang menggembalakan sekawanan domba.

Umar berkata kepadanya, "Juallah seekor domba padaku."

Anak laki-laki itu menjawab, "Domba-domba ini bukan milikku, tapi milik tuanku."

Kemudian untuk mengujinya, Umar berkata, "Engkau kan bisa berkata kepadanya bahwa seekor srigala telah menyambar salah satu di antaranya, dan dia tidak akan tahu apa-apa mengenai hal itu."

"Tidak, memang dia tak akan tahu," kata anak itu, "Tapi Allah akan mengetahuinya."

Umar pun menangis dan mendatangi majikan anak laki-laki itu untuk membelinya dan kemudian membebaskannya sambil berkata, "Ucapanmu itu telah membuatmu bebas di dunia ini akan akan membuatmu bebas pula di akhirat."

Ada dua tingkatan Dzikrullah ini. Tingkatan pertama adalah tingkatan para wali yang pikiran-pikirannya seluruhnya terserap dalam perenungan dan keagungan Allah, dan sama sekali tidak menyisakan lagi ruang di hati mereka untuk hal-hal lain.

Inilah tingkatan dzikir—yang lebih rendah—karena ketika hati manusia sudah tetap dan anggota-anggota tubuhnya sedemikian terkendalikan oleh hatinya sehingga mereka menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang sebenarnya halal, maka ia sama sekali tak lagi butuh akan alat ataupun penjaga terhadap dosa-dosanya.

Terhadap dzikir seperti inilah Nabi SAW berkata, "Orang yang bangun di pagi hari hanya dengan Allah di dalam pikirannya, maka Allah akan menjaganya di dunia ini maupun di akhirat."

Beberapa di antara pedzikir ini sampai sedemikian larut dalam ingatan akan Dia, sehingga mereka tidak mendengarkan orang yang bercakap dengan mereka, tidak melihat orang berjalan di depan mereka, tetapi terhuyung-huyung seakan-akan melanggar dinding.

Seorang wali meriwayatkan bahwa suatu hari ia melewati tempat para pemanah sedang mengadakan perlombaan memanah. Agak jauh dari situ, seseorang duduk sendirian. "Saya mendekatinya dan mencoba mengajaknya berbicara, tetapi dia menjawab, 'Mengingat Allah lebih baik daripada bercakap."

Saya berkata, "Tidakkah anda kesepian?"

"Tidak," jawabnya, "Allah dan dua malaikat bersama saya."

Sembari menunjuk kepada para pemanah saya bertanya, "Mana di antara mereka yang telah berhasil menggondol gelar juara?"

"Orang yang telah ditakdirkan Allah untuk menggondolnya," jawabnya.

Kemudian saya bertanya, "Jalan ini datang dari mana?"

Terhadap pertanyaan ini dia mengarahkan matanya ke langit, kemudian bangkit dan pergi seraya berkata, "Ya Rabbi, banyak mahluk-Mu menghalang-halangi orang dari mengingat-Mu."

sumber : Kimyatusy Sya'adah (The Alchemy of Happiness) Al-Ghazali, terjemahan Haidar Bagir
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement