Sabtu 17 Mar 2012 17:04 WIB

Tim Global March to Jerusalem (GMJ) Tiba di Iran

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Hazliansyah
Global March to Jerusalem
Foto: al manar
Global March to Jerusalem

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Tim relawan Global March to Jerussalem (GMJ) yang bertolak dari Karachi, Pakistan tiba di Iran. Mereka memasuki Iran setelah menempuh 30 jam perjalanan dari Karachi, hingga Taftan, kota terujung di Provinsi  Balochistan, Pakistan bagian utara yang berbatasan dengan Iran.

Para relawan yang berasal dari Indonesia, India, dan Pakistan, berhasil memasuki pos perbatasan Iran yang sekaligus pintu imigrasi, di Mirjaveh, Iran pada Kamis (15/3). Perjalanan Karachi-Mirjaveh, berjarak kurang lebih 1.100 km.

Dengan menggunakan dua bis berukuran besar, sekitar 50 peserta, diajak menyusuri daratan utara Pakistan. Tim bergerak, pada Rabu (14/3) pukul 07.15 waktu Pakistan. Saat pemberangkatan, tim sempat mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian bersenjata lengkap.

Suhu udara, pagi itu, cukup dingin. Di sepanjang jalur tol M.T Card By Pass, sinar matahari nyaris tak terlihat. Embun tebal menyelimuti jalan. Sorotan mata hanya mampu memandang satu meter ke segala arah. Bis berjalan dengan kecepatan sedang, berkisar 80-100 km per jam.

Penumpang disuguhi pemandangan bukit pasir dan batu cadas Kari Alakad di sepanjang perjalanan. Gurun pasir juga tampak terhampar luas. Di dalam bis, pagi menjelang siang, padang pasir memerlihatkan fatamorgana, panas matahari mulai terasa. Debu pasir nan lembut, mencoba memasuki pernafasan. Tak ada fasilitas air conditioner ataupun toilet di dalam bus.

Bis menyusuri beberapa kota, Hub, Winder, Uthal, Labell, dan Wadh. Rombongan tak banyak berhenti. Jarak antara satu kota dan kota lainnya cukup jauh. Hanya, satu dua rumah berbahan dasar tanah liat, terlihat di luar kota. Pohon kurma dan rumput kering gurun, hanya dua jenis pohon tersebut yang terlihat mata.

Sesekali kendaraan berhenti hanya untuk mengisi bahan bakar. Kesempatan itu pun digunakan relawan untuk buang air kecil. Tak ada toilet mewah. Peserta, dipaksa buang air kecil dengan berdiri di atas tanah lapang yang berada di belakang bangunan pos SPBU yang terbuat dari tanah liat. Hawa dingin dan panas bercampur debu, menemani mereka buang air kecil.   

Jangankan toilet, kondisi SPBU pun jauh dari kata layak. Tangki bahan bakar dibenamkan begitu saja, hampir sejajar dengan tanah. Hanya ada satu dan maksimal dua pengisi bahan bakar. Meterannya pun tak berfungsi. Bekas luberan bahan bakar terlihat jejaknya di tanah.

Siang hari, rombongan tiba di Koshk, Kota Khuzdar. Tim disambut meriah oleh penduduk lokal. Mereka mayoritas didominasi para santri yang tengah belajar di Ma’had Darul Uloom dengan pusat kegiatannya di Masjid Al Rahem, pimpinan Sayed Shujaul Haqu Hashemi. Jumlahnya mencapai puluhan orang.

Menurut Abdul Quddus Sasali, peserta asal Pakistan, konon, daerah ini adalah tempat singgah salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw, yaitu Sanan bin Salma. Setelah menunaikan shalat, bersilaturahim dan menyantap makan siang dengan menu roti dan kari ayam, rombongan berangkat dengan diiringi yel-yel dukungan Palestina dan kecaman terhadap Israel dan sekutunya, AS. “Murtabat Amerika (binasalah AS),” demikian teriak para santri.

Bis terus melaju kencang. Kendaraan berusia tua itu, sesekali memerlambat laju kecepatan mengantisipasi kerusakan jalan di beberapa titik. Di sejumlah lokasi, tim diharuskan mengikuti prosedur check point dari pihak keamanan setempat.

Prosedur ini diberlakukan ketat, mengingat provinsi sebelah utara Pakistan adalah daerah konflik. Balochistan, adalah basis perlawanan terhadap pemerintah. Republika sempat melihat warga sipil setempat yang leluasa membawa senjata AK47, senapan mesin besutan negeri beruang putih, Rusia.

Menjelang sore, tim tiba di Kallat. Rombongan berhenti sejenak, namun kali ini, hanya panitia lokal yang turun dari kendaraan. Sekelompok orang memberikan penyambutan. Selang sepuluh menit, GMJ melanjutkan perjalanan menyusuri gurun pasir dan perbukitan cadas.

Semakin jauh perjalanan, suhu udara terasa menusuk tulang. Matahari beranjak menghilang dari langit Balochistan. Berganti bintang-bintang kecil, jumlahnya tak terlalu banyak, kalah dengan kabut tebal.

Di pertengahan malam, tim sampai di desa Dinggarh, Mastong. Peserta mendapat sambutan dan jamuan makan malam dari penduduk setempat. Rumah dari tanah liat dengan ruangan berbentuk persegi panjang, tak begitu luas, menjadi ruang jamuan. Di kediaman itu, hanya ada satu toilet berdinding tanah liat, demikian juga dengan lantainya. Begitu terkana air, lantai pun ikut larut. Menengok ke atas, ruangan itu beratapkan pelapah daun kurma.

Di Dinggarh, jari tangan mengerut. Kedua bibir mulai pecah menyisakan nyeri. Tak ada aktivitas warga malam itu. Suara binatang pun tak terdengar. Kesunyian ini menambah kesan; Balochistan sebagai daerah konflik. Dua warga lokal memegang senapan mesin. Usai menyantap makan malam, rombongan kembali bergerak. Menyusuri malam dan beristirahat di atas mobil.

Di kesunyian malam, tim kembali melewati pos check point. Menuju salah satu pos di kota Mastong itu, rombongan dituntun oleh mobil patroli kemanan. Semula, tim direncanakan melintasi dalam kota Quetta. Tetapi, situasi keamanan tidak memungkinkan. Rombongan hanya melintasi luar kota Quetta.

Fajar mulai menyongsong, tim singgah sejenak di Masjid daerah Dalbandeen. Tulang merasakan dinginnya air saat berwudhu. Angin kencang menambah hawa itu kian merasuk. Setelah shalat di Masjid dengan penerangan redup itu, tim melanjutkan perjalanan sampai matahari pagi menyapa kembali, menuju kota terujung sebelah utara Pakistan, Taftan. Tim terus bergerak, hingga ke perbatasan, melewatkan sarapan pagi. Menahan lapar hinga siang berada di pos imigrasi Taftan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement