REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA– Kenaikan harga BBM biasanya berbuntuk pada kenaikan harga bahan pokok lainnya termasuknya harga obat generik esensial yang banyak di gunakan kalangan masyarakat menengah kebawah. Sebelumnya Meneg BUMN (15/03) berjanji tidak akan menaikkan harga obat generik yang diproduksi oleh BUMN.
Namun janji itu justru berbanding terbalik dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menetapkan kenaikan harga obat sebesar 6–9% (18/03). Menteri Kesehatan seharusnya bisa kompak dengan Menteri BUMN untuk mencegah kenaikan Harga Obat Generik, kenapa kebijakannya berbeda satu sama lain?” kata Anggota Komisi IX DPR RI Herlini Amran , Senin (19/03).
Sebelumnya Dirjen Binafar dan Alkes Kemenkes juga telah berjanji akan mengendalikan harga obat generik jelang kenaikan BBM yang volumenya menguasai 40 persen peredaran obat di masyarakat, “Tapi kenapa justru Kemenkes malah menaikkan harga obat generik?” heran Herlini yang juga anggota Pokja Kesehatan.
Legislator Partai Keadilan Sejahtera ini mendesak Kemenkes untuk dapat menjamin bahwa berapa pun penyesuasian harga obat generik kedepan tidak akan membebani pasien Jamkesmas dan Jamkesda. “Karena itu revisi plafon pembiayaan Jamkesmas/Jamkesda harus dijamin akan beropersional di lapangan, dan mampu diterima penyelenggara jaminan kesehatan di semua daerah,” ujarnya.
“Kemenkes harus menjamin harga obat generik dipasaran sesuai dengan HET, dan menertibkan apotek/faskes yang menjual obat generik kepada masyarakat umum di atas HET,” kata Anggota DPR asal Kepulauan Riau ini.
Herlini juga meminta Kemenkes untuk serius menyusun strategi pemenuhan obat generik nasional untuk menyongsong BPJS Kesehatan melalui penguatan bahan baku dan kapasitas produksi obat generik, dan pengontrolan penggunaan obat generik di faskes. “Jangan sampai penyesuaian harga obat generik sekarang berimplikasi negatif terhadap skema biaya kesehatan yang dilaksanakan BPJS kelak” ujarnya.
“Setiap keputusan Kemenkes menaikan harga obat generik sesungguhnya bukan solusi cerdas yang pro-rakyat, melainkan reaksi tambal sulam karena ketidakmampuan Pemerintah merealisasikan ketahanan obat nasional,” Pungkas Herlini.