REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tim eksaminasi publik yang terdiri Indonesia Court Monitoring (ICM) dan Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai putusan Mahkamah Agung (MA) janggal.
Putusan yang dimaksud adalah pembatalan delapan poin yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Salah seorang Dewan Majelis Eksaminasi, Fajrul Falaakh, menyebut pencabutan oleh MA sangat aneh dan tidak masuk akal. Fajrul menyatakan, majelis hakim penguji materiil SKB tidak profesional dan dangkal ilmu pengetahuannya, sehingga dengan gampangnya mencabut aturan tersebut.
“Ini karena majelis hakim tidak dapat membedakan yang namanya norma hukum dan norma etika,” terang Fajrul saat memaparkan telaah eksaminasi publik terhadap putusan MA di gedung Komisi Yudisial (KY), Rabu (21/3).
MA mengabulkan permohonan pengujian materiil yang diajukan oleh empat orang advokat terkait kode etik dan pedoman perilaku hakim. Sehingga MA membatalkan delapan poin yang terdapat dalam dua pasal, yakni, 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 dan 10.1, 10.2, 10.3, 10.4.
Menurut Fajrul, baru pertama kali ini mendapati sebuah institusi, terutama institusi peradilan yang mengadili kode etiknya sendiri. Padahal kode etik tersebut dijadikan pegangan bagi KY untuk menilai apakah seorang hakim itu bekerja profesional atau tidak. Hal ini, imbuh dia, sama saja dengan memberikan kebebasan kepada seseorang juga untuk mengadili kode etik insitusi lainnya. Padahal, ketentuan kode etik berbeda dengan Undang-Undang (UU).
Dia mencontohkan, bisa jadi suatu kode etik jurnalis, DPR, dan institusi lainnya dapat diajukan dan diadili oleh MA. Karena itu, pihaknya mempertanyakan mengapa MA mencabut aturan yang dibuatnya sendiri bersama KY. “Lebih aneh lagi yang mengajukan adalah seorang pengacara di antaranya merupakan mantan hakim agung,” kritik Fajrul.