REPUBLIKA.CO.ID,Spider-Man adalah cerita pahlawan super yang walaupun sudah membantu banyak orang tapi tetap dianggap sebagai musuh masyarakat. Hulk adalah cerita seorang ilmuwan yang karena kecelakaan sinar Gamma menjadi sosok yang ditakuti dan diburu oleh para aparat militer. Bagi anak muda AS di periode awal 1960-an, Spider-Man dan Hulk seakan mewakili keberadaan mereka dalam masyarakat. Mereka merasa apa yang mereka perjuangkan adalah untuk kebaikan AS tapi mereka malah dipandang sebagai musuh oleh pemerintah. Apalagi saat banyak demonstrasi anti perang di AS, para pemuda harus berhadapan dengan para tentara.
Memang terlalu jauh untuk menyimpulkan bahwa buku komik menjadi wadah utama yang mengubah cara berpikir masyarakat AS. Namun melihat data sejarah di atas maka bukan tidak mungkin medium buku komik di AS bisa turut berperan dalam mempengaruhi pola pandang masyarakat dengan cara-cara yang tidak melibatkan kekerasan. Ini serupa dengan konsep soft power yang diutarakan Joseph Nye dalam ilmu hubungan internasional, namun sifatnya adalah domestik atau dalam negeri.
Lalu apakah buku komik di Indonesia bisa dijadikan sebuah bentuk soft power domestik? Tentu harus dilihat perbedaan anggapan masyarakat AS dengan Indonesia terhadap buku komik. Buku komik di AS pada tahun 1950-an sudah menjadi sebuah industri yang menjangkau banyak orang. Sebuah data menunjukkan bahwa pada tahun 1953, diperkirakan keuntungan keseluruhan penjualan buku komik mencapai USD90 juta dan ada sekitar 650 judul yang diterbitkan oleh para penebit mereka (Wright, 2001). Walaupun dua tahun kemudian sempat mengalami penurunan drastis akibat tekanan para orang tua yang menganggap buku komik memberi pengaruh buruk kepada anak-anak mereka, sebelum kembali meningkat kepopulerannya di periode 1960-an.
Bahkan lebih dari sekedar angka, masyarakat AS menganggap buku komik sebagai salah satu wujud budaya populer mereka. Saat ini bisa kita lihat cerita-cerita buku komik diangkat menjadi film layar lebar dan beberapa mendulang sukses. Bandingkan kemudian dengan Indonesia yang saat ini lebih banyak menerbitkan buku komik terjemahan dari Jepang dan beberapa dari AS serta Eropa. Saat Indonesia masih lebih fokus menerjemahkan buku komik asing maka tentu kita tidak bisa memasukkan pesan sosial yang ingin disampaikan ke pembaca. Salah satu harapan buku komik sebagai soft power domestik di Indonesia ada pada “Benny & Mice” walaupun lebih berbentuk komik baris (comic strip) dan masih dalam ruang lingkup terbatas.
Sekarang ini tampaknya kita perlu mencari wujud lain dari budaya populer Indonesia yang bisa menjadi soft power domestik. Sebelum buku komik produksi dalam negeri menjadi dominan di pasar Indonesia maka sulit mengharap buku komik menjadi soft power domestik di negeri ini.
Penulis: Patria Pinandita Ginting Suka MA (penggemar komik, anggota Departemen Politik Dewan Pertimbangan Pusat (DPP) PDI Perjuangan yang saat ini juga bekerja sebagai tenaga ahli anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR-RI Komisi VI).