REPUBLIKA.CO.ID, EL CAJON, AS - Tak jauh dari tubuh Shaima Alawadi yang tergeletak, polisi menemukan sebuah catatan berisi ancaman. Polisi menolak merilis isi teks tersebut. Namun kerabat dan teman wanita malang itu menuturkan kertas dengan tulisan tangan itu memperingatkan Alawadi, 'untuk kembali ke negaramu' dan melabelinya sebagai teroris.
Keluarga berulang kali melapor ke polisi bahwa mereka menemukan sebuah catatan serupa dengan ancaman beberapat hari sebelumnya. Namun laporan itu dianggap ulah iseng para remaja.
Rabu (21/3) pekan lalu, Alawadi ditemukan tak sadarkan diri di ruang makan keluarga oleh putrinya yang berusia 17 tahun. Ia lalu dilarikan ke rumah sakit di mana ia dinyatakan mengalami kelumpuhan otak total akibat benturan. Keluarganya pada 26 Maret lalu akhirnya menghentikan sistem pendukung yang menopang hidupnya.
Terlepas dari catatan itu, polisi mengatakan apa pun motifnya, serangan tersebut terlihat sebagai 'kejadian tunggal'. Bukan bagian dari pola kekerasan terhadap imigran.
Kepolisian El Cajon malah terkesan meminta dukungan publik dalam penyelidikan kasus tersebut. Ironisnya, dalam penganiayaan berujung kematian itu polisi belum mau memasukkan kemungkinan Alawadi ialah korban kriminal kebencian.
"Kami tengah menyelidiki semua aspek kejahatan ini," ujar Letnan Mark Coit, Ahad pekan lalu. "Begitu anda memasukkan kemungkinan motif, pandangan anda mulai terperangkap, karena itu kami masih belum memasukkan motif apa pun dalam kasus pembunuhan ini," dalihnya.
Coit menyatakan polisi masih belum yakin senjata pembunuh apa yang digunakan pelaku. Namun ia menyatakan Alawadi sepertinya dipukul dengan benda besar.
Pada hari saat peristiwa terjadi, suami Alawadi dilaporkan meninggalkan rumah pagi-pagi untuk mengantar bocah-bocah ke sekolah.
Alawadi dan suaminya pindah ke El Cajon dari sub urban Detroit beberapa pekan lalu. Dua area tersebut dikenal sebagai tujuang bermukim bagi imigran Irak di Amerika Serikat.
Kini, anak-anak Alawadi dan juga suaminya, menurut direktur eksekutif Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR) cabang San Diego, Hanif Mohebi, mencoba mengatasi dan bertahan dengan peristiwa tersebut. Pembicaraan pun berputar pada pemakaman. "Mereka masih terpaku." ujar Mohebi.
Komunitas imigran di timur San Diego terkejut mendengar pembunuhan tersebut. Saat ini diperkirakan ada 30 ribu hingga 40 ribu imigran dari Irak dan negara Timur Tengah lain yang tinggal di El Cajon, La Mesa dan area lain yang berbatasan dengan timur San Diego.
Alwadi dan suaminya, Kassim Alhimidi, berimigrasi ke AS pada pertengahan 1990-an dan memiliki dua putri dan tiga anak dengan rentang usia antara 7 hingga 18 tahun.
Jauh dari kesan minoritas tak terlihat, para imigran itu membangun kehidupan dan memiliki beberapa pasar kecil sendiri juga restoran di penjuru area. Mereka bahkan memiliki pusat komunitas di El Cajon. Banyak dari mereka ialah etnis Chaldea, warga Kristen Irak yang ditindas saat rezim Sadam Hussein.
"Keluarga dan komunitas prihatin dengan kasus ini dan mencemaskan kemungkinan kejahatan kebencian berada dibalik peristiwa," ujar Mohebi. "Kami memiliki pengalaman di masa lalu--terutama penghinaan--meski tidak ada serangan fisik. Ini benar-benar mengejutkan bagi komunitas, negara bagian bahkan secara nasional."
Coit tetap menepis kemungkinan sikap antipati terhadap imigran Timur Tengah yang merebak tepat setelah serangan teroris 11 September dan juga pascainvasi AS ke Irak pada 2003.
"Kami tidak menyaksikan kemungkinan itu," ujar Coit. "Untuk sebagian besar, komunitas kita telah belajar dan menjadi sangat toleran terhadap siapa pun."