REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Industri pengolahan susu meminta bea masuk (BM) bahan olahan susu dikurangi. Selama ini, bahan baku susu impor dikenakan BM lima persen. Padahal, impor susu olahan tidak dikenakan bea masuk.
Impor bahan baku susu semakin meningkat. Kebutuhan bahan baku susu mencapai 3,2 juta ton, yang tersedia dalam negeri hanya 690 ribu ton atau sekitar 21 persen. Sisanya, 79 persen harus diimpor dari Australia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Pengolahan Susu, Sahlan Siregar, mengungkapkan selama ini, anggota asosiasinya selalu menyerap 100 persen susu yang berasal dari peternak sebelum melakukan impor.
Menurut Sahlan, industri pengolahan susu cukup terpukul dengan dibebaskannya impor susu. “Secara nyata kami terpukul persaingan dari dalam dan dari luar,” ujar dia dalam diskusi tentang bea masuk susu olahan, Selasa (27/3).
Direktur Industri AgroMinuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian, Enny Ratnaningtyas, mengatakan adanya BM akan sangat memengaruhi daya saing industri pengolahan susu. Menurut dia, agar industri susu dalam negeri bisa bersaing, pemerintah perlu memberikan insentif bagai industri dalam negeri yang bisa menyerap bahan baku lokal. "Selama ini, industri susu telah masuk sebagai salah satu industri prioritas nasional," ujarnya.
Anggota Komisi IV DPR-RI, Siswono, mengkritik anggaran kementerian yang dialokasikan untuk peternakan yang masih sedikit. Menurut dia, selama ini anggaran masih diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Tahun ini, pemerintah juga lebih mengalokasikan anggaran untuk sapi potong untuk pemenuhan pangan, bukan sapi perah.
Ia merasa heran karena impor susu olahan justru dibebaskan dari BM, sementara industri pengolahan harus membayar lima persen untuk impor bahan baku. “Impor bahan baku meningkat karena peternakan kita masih sangat tradisional,” ungkapnya.
Tanpa adanya insentif atau alokasi anggran yang cukupn di sektor peternakan, menurutnya, akan sangat menyulitkan industri pengolahan susu.