REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR RI Sadar Subagyo mencurigai sikap pemerintah yang ngotot menaikan harga BBM bersubsidi merupakan agenda terselubung menyelamatkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang tengah dilanda krisis keuangan.
"Kondisi keuangan PLN saat ini sangat tidak sehat bahkan berpotensi terancam bangkrut jika tidak segera ditolong" ujar Sadar yang juga anggota Badan Anggaran DPR RI kepada pers di Jakarta, Kamis.
Salah satu cara mengukur tingkat kesehatan perusahaan adalah dengan melihat 'Debt Service Coverage Ratio' (DSCR), yaitu perbandingan antara pendapatan bersih perusahaan dengan kewajibannya membayar utang, katanya.
Menurut dia, perusahaan dikatakan sehat apabila minimal DSCR sekitar 3, dan akan dianggap bangkrut jika DSCR negatif. "PLN sejatinya saat ini dalam keadaan darurat. Jika subsidi ke PLN tahun ini hanya Rp45 triliun sesuai APBN 2012, maka PLN akan tekor hingga Rp 35,72 trilliun, terdiri dari 'net income' minus 17,25 triliun dan kewajiban membayar hutang sebesar Rp18.47 triliun," ujar Sadar.
Daruratnya kondisi PLN ini, imbuh dia, membuat pemerintah mau tidak mau harus menambah subsidi listrik minimal Rp 40 trilliun sehingga DSCR PLN menjadi positif, meski masih jauh dibawah minimum DSCR yang sehat yaitu sekitar 3.
Karena keadaan darurat maka cara yang ditempuh adalah cara darurat termudah, yakni mengubah asumsi makro APBN dan menaikan harga BBM bersubsidi, yang sekalian pula memenuhi tuntutan IMF yaitu mengurangi subsidi BBM.
''Sekarang menjadi sangat masuk akal jika pemerintah ngotot merubah asumsi makro serta menaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1500 per liter,'' ungkap Sadar.
Karena perubahan asumsi makro akan menambah pemasukan sebesar Rp47 triliun dan menaikkan harga BBM bersubsidi akan menambah pemasukan Rp60 triliun sehingga total penerimaan akan bertambah Rp107 triliun, kata politisi Partai Gerindra itu.
Penambahan penerimaan dari hasil menaikkan harga BBM ini kemudian akan digunakan menambah subsidi listrik atau menyelamatkan PLN sebesar Rp43 triliun, pemberian BLT Rp 30,6 triliun, tambahan subsidi BBM Rp 13,8 triliun dan sisanya Rp 19,6 triliun digunakan untuk tambahan belanja infrastruktur serta pendidikan.
Dari urutan besarnya penggunaan tambahan penerimaan negara, kata Sadar, sangat jelas terlihat bahwa paling besar adalah untuk menolong PLN sedangkan pembengkakan subsidi BBM yang selama ini digembar-gemborkan sebagai biang kerok penghambat pembangunan ada pada urutan terakhir.
Menurut dia, hal ini tentunya sangat mengusik rasa keadilan karena kesalahan perhitungan PLN dibebankan ke rakyat.
"Mengapa pemerintah terkesan menutupi permasalahan ini, mengapa berdalih subsidi BBM membengkak. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah operasi penyelamatan PLN serta pembenaran untuk pemberian BLT," ujarnya.
Lebih lanjut Sadar mengatakan sebenarnya ada banyak cara untuk menyelamatkan PLN tanpa harus membebani dan menambah kesengsaraan rakyat, salah satunya adalah menaikan harga listrik (TDL) sebesar 10 persen yang akan menambah penerimaan sekitar Rp9 triliun.
Penaikan harga listrik dampak negatifnya jauh lebih kecil dibandingkan kenaikan harga BBM dan akan merangsang tumbuhnya pembangkit-pembangkit swasta yang mengandalkan energi terbarukan.
Dia mengakui angka Rp 9 triliun masih jauh dari mencukupi karena sesuai kesepakatan terakhir minimal dibutuhkan tambahan subsidi listrik sebesar Rp 43 triliun.
Namun kekurangan pendanaan dapat ditutup dengan penerbitan obligasi konversi senilai Rp40 triliun yang dijamin negara/pemerintah dan wajib dibeli oleh BUMN yang berkemampuan serta oleh pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) ketimbang dana pemda ratusan triliun diparkir saja di Bank Indonesia dalam bentuk SBI.
"Ini mungkin menjadi salah satu alternatif solusi yang lebih bijak dan tidak menambah sengsara rakyat," demikian Sadar Subagyo.